Farmasi UGM. Kekurangan alat pelindung diri (APD) untuk petugas kesehatan telah banyak dibicarakan beberapa bulan terakhir seiring dengan semakin meningkatnya kasus COVID-19 di berbagai negara di dunia. Selain karena meningkatnya kebutuhan yang tidak diperkirakan sebelumnya, kekurangan juga disebabkan karena suplai yang tidak memadai dikarenakan beberapa hal termasuk kekurangan bahan baku, masalah kapasitas produksi, konsolidasi industri, praktik pemasaran, serta manajemen pengadaan dan rantai pasokan. Pendekatan yang ada untuk mengurangi kekurangan termasuk diantaranya intervensi pemerintah untuk meningkatkan efisiensi rantai pasokan, mobilisasi produksi hingga redistribusi pasokan di tingkat nasional dapat mengatasi masalah kekurangan di beberapa rumah sakit. Namun, pendekatan tersebut memerlukan waktu, terutama untuk rumah sakit yang berada di remote area. Mobilisasi produksi hingga ke skala industri rumah tangga juga berisiko terhadap biaya dan kualitas. Mitigasi untuk mengatasi kekurangan APD di rumah sakit perlu dilakukan antara lain dengan meminimalisir penggunaan APD, penggunaan APD yang rasional, manajemen rantai pasokan yang tepat serta mitigasi sementara pada situasi krisis APD.
Latar Belakang.
Upaya untuk mencegah penyebaran virus Corona yang menjadi penyebab penyakit Covid-19 ke dan dari petugas kesehatan dan pasien bergantung pada penggunaan alat pelindung diri (APD) yang efektif — sarung tangan, masker bedah, respirator pemurni udara/Masker 95, kacamata pelindung, pelindung wajah, sarung tangan, serta gown.
Kekurangan APD banyak dilaporkan di beberapa sarana pelayanan kesehatan di berbagai daerah. Tidak hanya di sarana pelayanan kesehatan milik swasta, rumah sakit pemerintah dan puskesmas pun tidak luput mengalami keterbatasan APD. Tidak hanya rumah sakit di daerah, rumah sakit di kota besar di pulau jawa pun terpaksa harus berhemat dalam menggunakan APD dan terkadang harus menggunakan APD yang tidak sesuai standar. Harga APD yang melambung tinggi juga menjadi penyebab sarana pelayanan kesehatan tidak mampu menyediakan APD yang memadai untuk petugas medis. Masker bedah dan masker N95 merupakan contoh APD yang harganya melonjak hingga 700%. Pada beberapa kasus, rumah sakit terpaksa menggunakan jas hujan atau mantel sebagai pengganti gown pada saat memberikan pelayanan kepada pasien.
Upaya untuk menghindari dan mengurangi risiko kekurangan APD telah banyak dilakukan baik di tingkat nasional maupun regional. Penambahan kuota impor, peningkatan kapasitas produksi termasuk melibatkan industri rumah tangga untuk memproduksi APD hingga mengatur rantai distribusi dan memanfaatkan jalur birokrasi melalui dinas kesehatan untuk menyalurkan APD terus dilakukan seoptimal mungkin. Namun masih meningkatnya eskalasi penderita COVID-19 dan semakin bertambahnya ODP (Orang Dalam Pemantauan) dan PDP (Pasien Dalam Pengawasan) hingga OTG (Orang Tanpa Gejala) yang berpotensi menjadi rantai penularan COVID-19 membuat kebutuhan APD akan terus meningkat hingga beberapa minggu atau bahkan bulan ke depan.
APD tidak hanya dibutuhkan oleh petugas medis yang merawat pasien secara langsung tapi juga dibutuhkan oleh petugas kesehatan yang tidak secara langsung berinteraksi dengan pasien COVID-19. Beberapa laporan bahkan menunjukkan beberapa tenaga kesehatan termasuk tenaga dokter tertular virus corona dari pasien atau keluarga pasien yang tidak berstatus ODP ataupun PDP. Beberapa dokter anak yang positif COVID-19 misalnya, berkemungkinan tertular dari orang tua yang membawa anaknya untuk mendapatkan imunisasi. Kekurangan APD juga masih mungkin terjadi terutama di sarana pelayanan kesehatan yang berada di daerah-daerah terpencil atau rumah sakit-rumah sakit non rujukan COVID-19 yang tidak menjadi prioritas penyaluran APD baik dari pemerintah maupun dari lembaga sosial masyarakat. Kendala lain adalah kualitas APD yang tidak terstandar, seperti disinyalir dari temuan uji kualitas APD yang dilakukan oleh fakultas Farmasi UGM. Pemborosan atau penggunaan APD yang tidak tepat juga berkontribusi menjadi penyebab kekurangan APD di beberapa sarana pelayanan kesehatan terutama rumah sakit.
Meningkatnya kebutuhan APD, tidak meratanya distribusi pemyaluran bantuan, terbatasnya sumber daya dan akses rumah sakit di daerah terpencil untuk memperoleh APD, kualitas APD yang tidak memadai serta penggunaan APD yang tidak rasional, merupakan faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan rumah sakit mengalami kekurangan APD yang sesuai standar dan mampu melindungi tenaga kesehatan dari risiko terinfeksi virus corona secara maksimal. Tenaga medis dan juga tenaga kesehatan lain penting untuk dilindungi karena apabila mereka terinfeksi dan jumlah pemberi pelayanan tidak mencukupi akan meningkatkan risiko tidak tertolongnya pasien baik yang terinfeksi COVID-19 maupun pasien lain yang tidak terkait COVID-19.
APD dan Pencegahan Penyebaran COVID-19
Berbagai referensi terkait pemilihan dan penggunaan APD pada penanganan COVID-19 telah banyak dikeluarkan oleh otoritas kesehatan seperti WHO dan Kementerian Kesehatan. Namun, penting untuk diperhatikan bahwa meskipun penggunaan APD sepertinya merupakan kontrol yang paling terlihat dapat mencegah penyebaran COVID-19, penggunaan APD hanya salah satu dari pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) dan tidak boleh diandalkan sebagai strategi pencegahan utama.
Strategi pencegahan utama seperti physical distancing (minimal 1 meter), hand hygiene, menghindari menyentuh mata mata, hidung dan mulut, etika batuk dan bersin, pembersihan dan desinfeksi lingkungan termasuk permukaan yang sering disentuh secara rutin merupakan protokol kesehatan yang berlaku untuk semua. Pada fasilitas kesehatan, kontrol administratif dan rekayasa lingkungan yang efektif merupakan hal yang wajib dilakukan agar penggunaan APD mampu memberikan manfaat dalam pencegahan dan penanganan infeksi Covid-19. Kontrol administratif bertujuan mengubah pola kerja tenaga kesehatan meliputi adanya tindakan dan prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) yang jelas, memisahkan jalur dan lokasi tempat dilakukannya tindakan triase, pemeriksaan, perawatan hingga ruang tunggu, antara pasien terduga dan positif COVID-19 dengan pasien lain. Sementara pengendalian lingkungan bertujuan menjauhkan tenaga kesehatan dari risiko kontaminasi meliputi penyediaan ruang yang memadai untuk memungkinkan jarak sosial minimal 1 meter antara pasien dan petugas kesehatan, memastikan ketersediaan ruang isolasi berventilasi untuk pasien dengan dugaan atau konfirmasi COVID-19, serta pembersihan dan disinfeksi lingkungan yang memadai.
Melalui buku “Petunjuk Teknis Penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD) Dalam Menghadapi Wabah Covid-19” yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI pada tanggal 6 April 2020, APD yang direkomendasikan meliputi: 1) Masker: Masker bedah dan Masker N95; 2) Pelindung wajah (face shield); 3) Pelindung mata (goggles); 4) Apron; 5) Jubah/gown (gown sekali pakai atau gown dipakai berulang); 6) Sarung tangan; 7) Penutup kepala; serta 8) Sepatu pelindung. Sementara itu, WHO melalui panduan penggunaan APD yang rasional yang juga dikeluarkan pada tanggal April 2020 merekomendasikan APD yang penting dalam pencegahan COVID-19 mencakup sarung tangan, masker bedah/masker medis, kacamata, pelindung wajah, dan gaun, serta respirator facepiece standar N95, FFP2 atau FFP3 atau setara untuk prosedur spesifik yang menimbulkan aerosol, serta apron.
COVID-19 adalah penyakit pernapasan yang berbeda dari penyakit virus Ebola (EVD), yang ditularkan melalui cairan tubuh terinfeksi. Oleh karena terdapat perbedaan dalam hal transmisi, persyaratan APD untuk COVID-19 berbeda dari yang diperlukan untuk EVD. Secara spesifik, coverall (kadang disebut APD Ebola) tidak diperlukan saat mengelola pasien COVID-19. Penggunaan APD merupakan salah satu upaya dalam penanganan pasien COVID-19 dan bukan sebagai strategi pencegahan utama.
Strategi Mitigasi Pada Kondisi Keterbatasan APD
Pemerintah dan sistem pelayanan kesehatan memang memiliki kewajiban untuk memastikan ketersediaan APD yang memadai untuk semua. Namun, ini mungkin sulit terjadi ketika terjadi pandemi seperti saat ini, ketika sumber daya kesehatan cenderung terbatas. Strategi mitigasi yang tepat pada kondisi kekurangan APD sangat diperlukan untuk mengurangi dampak dari pandemi COVID-19. Menetapkan prioritas dalam kondisi seperti ini menjadi pilihan yang logis, namun terkadang sekilas terlihat tidak mencerminkan keadilan atau kesetaraan dan tidak jarang harus berhadapan dengan etika. Strategi lain yang tidak kalah pentingnya adalah mendorong penggunaan APD yang rasional agar tidak terjadi pemborosan sumber daya.
Prinsip-prinsip prioritisasi dan alokasi sumber daya yang relevan atau dibenarkan mungkin berbeda pada berbagai tahap keterbatasan sumber daya. Pada kondisi sedikit kekurangan, alokasi sumber daya seperti ventilator mungkin paling dibenarkan oleh prinsip first come, first served (yang menunjukkan nilai kesetaraan). Ketika sumber daya menjadi semakin terbatas, prinsip yang memprioritaskan mereka yang paling membutuhkan menjadi prinsip alokasi yang dapat dibenarkan. Dengan kelangkaan yang bahkan lebih besar, sebuah prinsip yang bertujuan untuk memaksimalkan manfaat dari sumber daya mungkin paling dibenarkan. Ketika tidak ada faktor yang relevan yang membedakan individu, misalnya di antara mereka yang memiliki kebutuhan yang sama atau di antara mereka yang dapat diharapkan mendapatkan manfaat yang sama dari sumber daya, atau di antara mereka yang berada pada tingkat risiko yang sama, prinsip alokasi sumber daya yang mempromosikan kesetaraan – yaitu, pertama datang, pertama dilayani, atau alokasi acak – menjadi relevan dan dapat dibenarkan. Sangat penting bagi rumah sakit untuk menentukan di posisi mana kecukupan APD yang mereka miliki saat ini agar alokasi APD dapat dilakukan dengan optimal.
Pada situasi keterbatasan APD baik karena terbatasnya pasokan maupun ketersediaan anggaran, strategi yang dapat memfasilitasi ketersediaan APD yang optimal meliputi 1) meminimalkan kebutuhan APD dalam setting perawatan kesehatan, 2) memastikan penggunaan APD yang rasional dan tepat, serta 3) melakukan koordinasi mekanisme manajemen rantai pasokan APD.
Meminimalkan kebutuhan APD harus dilakukan secara tepat dan bijak dan harus dengan tetap memastikan bahwa tenaga kesehatan dan orang lain yang berada di rumah sakit terlindung dari paparan virus COVID-19. Beberapa strategi yang dapat digunakan antara lain: 1) pemanfaatan telemedicine atau pelayanan berbasis telepon secara ekstensif baik untuk assesment awal pasien terduga Covid-19 maupun pengobatan non Covid-19, 2) penggunaan penghalang fisik seperti kaca atau jendela plastik terutama pada tahap awal pasien ke rumah sakit seperti saat triase, atau pendaftaran gawat darurat serta unit pendukung lain yang tidak ada tindakan langsung kepada pasien, 3) penundaan prosedur elektif, prosedur tidak mendesak, kunjungan pasien kronis, serta menetapkan petugas/tim perawatan khusus hanya untuk perawatan pasien COVID-19 sehingga mereka dapat menggunakan APD untuk periode waktu yang lebih lama (penggunaan APD yang diperpanjang dengan persyaratan tertentu), 4) pembatasan jumlah petugas layanan kesehatan yang memasuki kamar pasien COVID-19, penyederhanaan alur kerja, termasuk pertimbangkan kegiatan bundling (menggabungkan beberapa kegiatan sekaligus) untuk meminimalkan berapa kali ruang perawatan dimasuki, 5) pertimbangkan menggunakan APD spesifik hanya jika bersentuhan langsung dengan pasien atau ketika menyentuh lingkungan, serta 6) sebisa mungkin melarang atau membatasi dengan ketat pasien Covid-19 untuk dikunjungi keluarga atau kerabatnya.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, APD harus digunakan dalam kombinasi dengan kontrol administratif dan teknik rekayasa lingkungan. Indikasi penggunaan APD harus didasarkan pada setting atau pengaturan ruang perawatan, audiens target, risiko pajanan (misalnya jenis kegiatan) dan dinamika transmisi patogen (mis. kontak, tetesan, atau aerosol). Penggunaan APD yang berlebihan atau salah akan berdampak lebih lanjut terhadap kekurangan pasokan. Beberapa rekomendasi berikut akan membantu memastikan penggunaan APD yang rasional: 1) jenis APD yang digunakan ketika merawat pasien COVID-19 akan bervariasi sesuai dengan pengaturan ruang perawatan, jenis personel, serta aktivitas yang dilakukan, dan petugas kesehatan yang terlibat dalam perawatan langsung pasien harus menggunakan APD sesuai indikasi (lihat “Petunjuk Teknis Penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD) Dalam Menghadapi Wabah Covid-19” Kemenkes RI), 2) khusus pada prosedur yang menghasilkan aerosol dan perawatan pendukung (intubasi trakea, ventilasi noninvasif, trakeotomi, resusitasi kardiopulmoner, ventilasi manual sebelum intubasi, bronkoskopi, tindakan pelayanan gigi) petugas harus menggunakan respirator N95, pelindung mata, sarung tangan dan gaun serta celemek jika gaun tidak tahan cairan, serta 3) orang-orang dengan gejala yang mengarah COVID-19 atau mereka yang merawat pasien COVID-19 di rumah harus mendapat perhatian dan menerima masker medis beserta instruksi penggunaannya.
Langkah terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah mengelola rantai pasokan APD meliputi: 1) membuat perkiraan kebutuhan APD berdasarkan model kuantifikasi rasional untuk memastikan rasionalisasi persediaan yang diminta, agar tidak kekurangan ataupun kelebihan suplai, 2) pendekatan manajemen pengadaan terpusat (misalnya melalui instalasi farmasi) untuk menghindari duplikasi stok dan memastikan kepatuhan yang ketat terhadap aturan manajemen stok, untuk menghindari terjadinya pemborosan, kelebihan, atau kekacauan stok; serta 3) memantau dan mengendalikan distribusi APD.
Pada kondisi ketika terjadi kekurangan APD yang parah atau disebut krisis APD, pendekatan di atas perlu dilengkapi dengan pendekatan alternatif untuk menemukan solusi sementara dalam mengatasi krisis kekurangan APD. Pendekatan alternatif ini harus didasarkan pada bukti ilmiah, prinsip keamanan dan keselamatan perawatan kesehatan, minimalisasi beban kerja untuk petugas kesehatan, serta menghindari rasa aman yang tidak berdasarkan bukti ilmiah. Langkah mitigasi sementara dapat dipertimbangkan pada saat terjadi krisis APD, namun WHO menekankan bahwa tindakan sementara ini harus dihindari sebisa mungkin saat merawat pasien COVID-19 dengan kondisi severe atau kritis, serta pasien yang diketahui memiliki ko-infeksi yang disebabkan multi-drug resistant atau organisme lain yang ditularkan melalui kontak (mis. Klebsiella pneumoniae) atau droplet (mis. virus influenza).
Mitigasi sementara tersebut meliputi: 1) penggunaan APD yang diperpanjang (untuk jangka waktu yang lebih lama dari standar), 2) pemrosesan ulang diikuti dengan penggunaan kembali (setelah pembersihan atau dekontaminasi/sterilisasi) untuk APD, baik yang dapat digunakan kembali maupun yang sekali pakai; dan 3) penggunaan item alternatif yang memiliki spesifikasi yang dapat dibandingkan dengan standar yang direkomendasikan oleh WHO. Penggunaan APD yang sudah melebihi umur simpan yang ditentukan pabrik atau tanggal kedaluwarsa dapat juga dipertimbangkan untuk waktu yang terbatas dan untuk APD serta tindakan tertentu. Namun, mitigasi sementara pada saat terjadi krisis APD ini, harus melalui proses inspeksi yang ketat (baca “Rational use of personal protective equipment for coronavirus disease (COVID-19) and considerations during severe shortages, WHO).
Kesimpulan
Memastikan akses APD yang memenuhi standar bagi petugas kesehatan di rumah sakit menjadi prioritas dalam melengkapi protokol kesehatan penanggulangan pandemi Covid-19 selain penerapan prosedur PPI yang ketat, kontrol administratif dan rekayasa lingkungan. Mengatasi kekurangan APD ditengah pandemi Covid-19 harus melibatkan perencanaan yang matang dan mempertimbangkan banyak hal. Kerjasama lintas bagian dan lintas profesi di rumah sakit hingga lintas institusi dalam struktur sistem pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan. Rumah sakit harus mampu mengidentifikasi status kekurangan APD yang mereka hadapi agar mampu melakukan intervensi dan antisipasi yang tepat. Meminimalkan kebutuhan APD, memastikan penggunaan APD yang rasional serta melakukan koordinasi mekanisme manajemen rantai pasokan APD merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan agar alokasi sumber daya terkait kebutuhan APD menjadi efektif. Mitigasi sementara pada saat krisis APD meliputi waktu penggunaan APD yang diperpanjang, pemrosesan ulang diikuti dengan penggunaan kembali APD serta penggunaan item alternatif yang dapat dibandingkan dengan standar yang direkomendasikan oleh WHO dapat dipertimbangkan. Adalah penting mempromosikan penggunaan APD yang rasional untuk dapat memastikan permintaan yang akurat dan sesuai dengan kebutuhan keselamatan selama pandemi Covid-19. Pada akhirnya, mekanisme kebijakan dan upaya harmonisasi harus menekankan pada dukungan terhadap praktik manufaktur/produksi APD yang baik, manajemen dan keamanan rantai pasokan yang tepat, dan koordinasi strategi untuk mengatasi kekurangan APD pada saat terjadi pandemi seperti saat ini.
Penulis : Oleh: Dr. apt. Endang Yuniarti, M.Kes (Alumni Fakultas Farmasi UGM, Praktisi Rumah Sakit)
Referensi:
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Petunjuk Teknis Penggunaan Alat Perlindungan Diri (Apd) Dalam Menghadapi Wabah Covid-19, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Jakarta 6 April 2020.
- World Health Organization, Rational use of personal protective equipment for coronavirus disease (COVID-19) and considerations during severe shortages, Interim guidance, 6 April 2020.
- World Health Organization, Personal protective equipment for use in a flovirus disease outbreak, Rapid advice guideline.
- World Health Organization, Ethics and COVID-19: resource allocation and priority-setting.
- Edward Livingston, MD; Angel Desai, MD, MPH; Michael Berkwits, MD, MSCE, Sourcing Personal Protective Equipment During the COVID-19 Pandemic, JAMA Published online March 28, 2020.