KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Kemunculan virus corona yang menginfeksi di seluruh dunia tidak pernah diduga-duga sebelumnya. Sebab, virus yang muncul pertama kali di Wuhan, Tiongkok ini merupakan jenis baru (SARS-CoV-2. Meskipun demikian, virus sebetulnya sudah ditemukan sejak 1960. Karena statusnya benar-benar baru, virus penyebab penyakit Covid-19 ini belum ada obat atau vaksinnya.
Berbagai pihak pun berupaya mencari alternatif. Seperti Pemerintah yang beberapa waktu lalu menyatakan akan menguji efektivitas klorokuin dan hidroklorokuin terhadap Covid-19. Untuk diketahui, klorokuin dan hidroklorokuin adalah obat yang sebelumnya digunakan untuk malaria dan penyakit yang menyerang imunitas. Sementara itu, berbagai negara dikabarkan sedang gencar melakukan penelitian agar segera menemukan obat virus corona.
Mengenai hal ini, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Zullies Ikawati, Ph.D., Apt, angkat bicara. Dalam sebuah tulisan di laman resmi Fakultas Farmasi UGM, Zullies memberikan pemaparan terkait obat yang benar-benar baru. “Obat perlu diuji lebih dahulu secara in vitro (menggunakan sistem di luar tubuh), kata Zullies.
“Atau in vivo (menggunakan sistem tubuh: langsung) pada binatang percobaan. Dalam hal mencari obat anti virus Covid-19,” terang ahli Farmakologi dan Farmasi Klinik asal Purwokerto ini.
Zullies menambahkan, dalam uji in vitro, virus akan diinfeksikan kepada suatu sel kultur. Menurutnya, suatu obat punya potensi digunakan sebagai antivirus (vaksin) Covid-19 jika mampu menghambat atau membunuh virus corona. Hal itu dilakukan terlebih dahulu secara in vitro. Namun, jika secara in vitro saja tidak menimbulkan efek, lanjutnya, ada kemungkinan obat juga tidak berpengaruh untuk manusia.
Zullies kemudian menyebut, selain aspek kemanjuran, aspek keamanan pun harus diperhatikan terhadap obat baru. “Jika suatu obat sangat manjur terhadap suatu penyakit tetapi menyebabkan efek samping berbahaya, maka calon obat tersebut tidak bisa diteruskan menjadi obat baru.”
“Calon-calon obat tersebut perlu diujikan pada hewan dahulu untuk melihat potensi keamanannya. Hal itu disebut dengan uji toksisitas (terkait racun),” terang Zullies.
Zullies berujar, jika obat terbukti tidak toksik, maka bisa diteruskan untuk uji selanjutnya. Uji selanjutnya yang dimaksud oleh wanita kelahiran 6 Desember 1968 ini adalah uji klinik. Uji klinik melibatkan manusia untuk melihat pengaruh yang ditimbulkan oleh obat.
“Uji Klinik memiliki persyaratan yang ketat untuk dapat digunakan sebagai dasar penggunaan pada manusia,” tutur Zullies.
“Antara lain; kriteria subyeknya, jumlah subyek ujinya, variasi kondisi subyek ujinya, parameter yang diukur, dan lain-lain,” lanjut ibu empat orang anak ini.
Menurut Zullies, andai uji klinik berhasil menunjukkan kemanjuran dan keamanan, obat tersebut dapat didaftarkan ke badan otoritas obat yaitu Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan). Badan POM bertanggung jawab menjamin keamanan dan potensi kemanjuran suatu obat. “Setelah didaftarkan dan dievaluasi oleh para pakar, barulah suatu calon obat mendapat izin edar dan dapat dipasarkan,” kata Zullies.
“Jadi, tidak mudah untuk suatu obat baru sampai ke tangan konsumen, karena harus mengikuti berbagai proses,” pungkas lulusan terbaik Program Keprofesian Apoteker Fakultas Farmasi UGM (1993) ini.
Pernyataan Zullies senada dengan penuturan Direktur Umum RSUP Dr. Sardjito periode 2017-2020, Dr. dr. Darwito S.H., Sp. B (K) Onk. Budayawan medis UGM itu menilai, penemuan vaksin Covid-19 dalam waktu singkat adalah sebuah kemustahilan. Menurut Darwito, proses penemuan vaksin mesti menempuh perjalanan panjang.
“Dahulu, minimal butuh enam tahun untuk menemukan vaksin,” ujar Darwito belum lama ini, dalam diskusi Pertarungan Hak Paten Vaksin Covid-19. (Ts/-Th)
Sumber : Kagama.co