KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Jelang Hari Pahlawan pada tanggal 10 November, Pemerintah Republik Indonesia baru saja menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada enam orang tokoh.
Dikutip dari biro setpres, enam tokoh tersebut mendapatkan gelar pahlawan karena semasa hidupnya dianggap berjasa dalam perjuangan di berbagai bidang untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pemberian Gelar Pahlawan Nasional berpedoman pada undang-undang nomor 20 tahun 2009 tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, yang mengatur kriteria pemberian tanda kehormatan.
Salah satu tokoh yang mendapat anugerah Gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Joko Widodo yaitu rektor pertama Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. M. Sardjito, M.D., M.P.H.
Prof. Sardjito, merupakan tokoh yang diusulkan oleh civitas akademik Universitas Gadjah Mada pada tahun 2018.
Sebelum diusulkan pada 2018, pengusulan gelar pahlawan untuk mendiang Prof. Sardjito, sempat disampaikan pada 2012.
Namun, bersamaan dengan seminar regional pada 2018, sivitas akademik UGM kembali memperjuangan pengusulan tersebut.
Nama Prof. Sardjito diusulkan oleh UGM karena memiliki kontribusi dalam bidang pendidikan, sains, khususnya ilmu dan teknologi kedokteran serta peran aktif dalam perjuangan di era revolusi fisik.
Beberapa hal mengenai Prof. Sardjito, sempat disampaikan oleh rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M. Eng, D.Eng.
Panut mengungkapkan bahwa perjuangan Prof. Sardjito dalam bidang pendidikan sangat luar biasa.
Selain itu, Prof. Sardjito juga memunculkan tokoh-tokoh di bidang sains, teknologi, seni, dan bidang lainnya, yang dihasilkan oleh UGM.
Perihal kelayakan Prof. Sardjito mendapatkan gelar pahlawan juga sempat diungkapkan oleh Wakil Gubernur DIY, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam X dalam sambutan pembukaan Seminar Regional “Ilmuwan Pejuang, Pejuang Ilmuwan: Peran Prof. Sardjito dalam revolusi fisik Kemerdekaan RI di UGM pada 2018.
“Prof. Sardjito telah banyak memberikan sumbangan besar, baik tenaga, waktu untuk bangsa Indonesia. Dengan segala hal yang beliau dapat lakukan. Selain itu, banyak membantu kemerdekaan Indonesia dalam masa revolusi fisik. Jadi, selayaknya beliau mendapat gelar pahlawan,” ungkap Paku Alam X.
Perjuangan Prof. Sardjito sendiri sempat diabadikan dalam film yang baru dirilis UGM berjudul Sardjito dalam Lukisan Revolusi.
Film tersebut menceritakan perjuangan tokoh yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit umum Provinsi, mulai dari Bandung hingga Klaten di masa revolusi fisik pasca proklamasi 1945.
Kerbau Vaksin Sardjito Menembus Perang
Dalam riwayatnya, Sardjito diceritakan sempat diminta oleh Kepala Jawatan Kesehatan Kotapraja Bandung, Dr. Djundjunan untuk menjadi Ketua Palang Merah Bandung.
Melalui Palang Merah Bandung-lah Sardjito kemudian berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Kala itu, diceritakan bahwa situasi Kota kembang sangat mencekam, karena pendudukan sekutu pada Oktober 1945.
Hal itu kemudian mengancam keamanan Institut Pasteur, karena adanya interaksi para dokter yang bekerja di Rumah Sakit Juliana.
Rumah Sakit Juliana terletak di sebelah barat Institut Pasteur.
Kantor PMI Bandung kemudian difungsikan sebagai markas pejuang dan rumah sakit darurat.
Tak hanya sebagai rumah sakit, kantor tersebut juga menyuplai obat-obatan.
Lantaran hal tersebut, sekutu kemudian mengepung kantor PMI Bandung dan dihujani bom.
Namun demikian, Sardjito sebagai pimpinan tetap bertahan.
Agar peran Instituut Pasteur sebagai lembaga yang bertugas memenuhi kebutuhan obat, vaksin, dan serum untuk seluruh pejuang di Jawa tetap berlangsung, Sardjito memindahkan lembaganya ke Klaten.
Klaten dianggap sebagai tempat aman karena tidak temasuk target serangan sekutu.
Salah satu cara yang ditempuh oleh Sardjito adalah menyuntikkan vaksin hasil penelitiannya ke badan kerbau, selama perjalanan dari Bandung ke Klaten, seperti dikatakan oleh Rektor UGM Prof. Ir. Panut Mulyono kepada KAGAMA. (Ezra)
Sumber : kagama.com