Farmasi UGM – Salah satu tujuan Sustainable Development Goals 2030 no.3 “Health for All” menekankan pada pentingnya akses terhadap obat-obatan esensial. Akan tetapi, adanya tantangan global dalam mengakses obat-obatan yang dikontrol peredarannya menjadi salah satu faktor signifikan yang menghambat tercapainya tujuan tersebut, termasuk di Indonesia. Hal ini menjadi topik utama yang dibahas pada workshop diseminasi dengan topik “Policy Analysis and Supply Chain Study on Access to Controlled Medicine” yang diadakan di Harper Malioboro Yogyakarta pada 31 Agustus hingga 1 September 2023. Acara dihadiri oleh delegasi dari UNODC, berbagai perwakilan dari UGM, UI, Kementerian Kesehatan, WHO, IAI, BPOM, Indonesian Cancer Foundation (ICF), BNN, APTFI dan praktisi Rumah Sakit.
Pada hari pertama, acara diawali dengan materi “Ensuring Availability of and Access to Controlled Substances for Medical and Scientific Purposes while Preventing Diversion and Abuse” yang disampaikan oleh Dr. Elizabeth Saenz selaku Coordinator Access to Controlled Medicines UNODC Pusat Kantor PBB di Vienna, Austria. Dalam paparannya disampaikan beberapa topik terkait beberapa upaya global dalam meningkatkan ketersediaan obat-obat yang dikontrol peredarannya termasuk di dalamnya progam yang dilakukan oleh UNODC. Jutaan orang menderita akibat kurangnya akses terhadap obat terkontrol. Distribusi konsumsi morphine equivalent menunjukkan bahwa lebih dari 93% morfin yang digunakan di seluruh dunia hanya digunakan oleh 5 negara besar sementara penggunaan di negara lain sangat terbatas jumlahnya. Meskipun perhitungan kebutuhan telah diakomodasi oleh INCB, tetapi fakta di lapangan masih banyak orang yang tidak mendapatkan obat-obatan tersebut. Program UNODC yang kini sedang diinisiasi di beberapa negara termasuk Indonesia bermaksud untuk mengkaji regulasi yang ada dalam upaya peningkatan akses dan pencegahan penyalahgunaan obat-obatan tersebut.Sesi selanjutnya adalah diseminasi hasil penelitian yang diketuai oleh Prof. Dr. Susi Ari Kristina, M.Kes yang mencoba mengkaji regulasi yang ada menggunakan beberapa indikator. Seiring dengan kondisi di berbagai negara, Indonesia masih memiliki beberapa hambatan dan tantangan yang harus dihadapi untuk menjamin akses obat esensial dalam hal ini obat-obatan yang dikontrol peredarannya. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu bahan acuan dalam evaluasi kebijakan yang ada dan sebagai upaya inisiasi isu ketersediaan obat-obatan yang dikontrol peredarannya di Indonesia.
Pada hari kedua dilakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk melakukan analisis masalah dan juga usulan solusi terkait peningkatan akses dan pencegahan penyalahgunaan obat-obatan yang dikontrol peredarannya di Indonesia dari tiga sudut pandang yaitu supply chain yang dimoderatori oleh Prof. Dr. Satibi, S.Si., M.Si. Apt. (perwakilan dari Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI)), sudut pandang policy yang di moderatori oleh Prof. Dr. Susi Ari Kristina, M.Kes, dan health professionals yang dimoderatori oleh Prof. Dr. Arry Yanuar, M.Si., Apt. (Dekan Fakultas Farmasi UI). Hasil diskusi yang dilakukan masing-masing tim kemudian di presentasikan dan dipandu oleh Surya Anaya selaku National Programme Officer UNODC Indonesia.
Dalam diskusi tersebut dibahas beberapa masalah, salah satunya adalah perlunya kajian untuk pengembangan produksi bahan baku narkotika lokal. Sebagai solusi, lembaga penelitian dan universitas di Indonesia didorong menciptakan penelitian dan pengembangan obat untuk memfasilitasi sumber bahan baku lokal untuk jenis obat-obatan tersebut. Diskusi juga mengungkap tantangan terkait fasilitas dan sistem distribusi yang masih memiliki pelanggaran manajemen dan berpotensi menyebabkan penyalahgunaan obat. Untuk mengatasi ini, pengawasan yang lebih ketat diperlukan untuk meminimalkan dampak negatif berupa penyalahgunaan obat-obatan tersebut. Dalam diskusi juga diangkat persoalan stigma yang berkaitan dengan kepemilikan obat-obatan narkotika dan psikotropika untuk pengobatan penyakit. Hal ini menyebabkan pasien enggan mendapatkan pengobatan menggunakan obat-obatan tersebut. Perlu adanya edukasi, sosialisasi, dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang keamanan penggunaan obat-obatan tersebut apabila digunakan sesuai dengan indikasinya. Terakhir, langkah-langkah untuk mencegah distribusi obat melalui jalur ilegal secara online dan offline juga menjadi salah satu topik bahasan. Adanya kerja sama lintas sektor antara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Asosiasi E-commerce Indonesia, polisi, dan sektor terkait lainnya untuk memberantas distribusi narkotika ilegal menjadi penting untuk mencegah terjadinya penjualan obat-obatan terserbut secara ilegal.
Adanya komitmen Indonesia untuk memperkuat kebijakan kesehatannya, khususnya terkait dengan distribusi dan penggunaan obat-obatan, edukasi yang baik dan akses yang mudah menjadi langkah penting yang dapat mengarah ke peningkatan kualitas kesehatan dan keamanan pasien. Workshop ini diharapkan mampu menjadi inisiasi awal adanya peningkatan kesadaran pada praktek medis yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Penulis: Rizka Prita Yuliani