Farmasi UGM – Awal tahun 2020 dunia digegerkan dengan berita mewabahnya penyakit yang disebut corona virus disease 19 (COVID-19) yang mulai merebak di Wuhan, Cina. Tidak disangka, dalam waktu 4 bulan wabah yang disebabkan oleh virus SARS-CoV2 ini sudah menjangkau seluruh dunia (213 negara, area, atau teritori), termasuk Indonesia (data per April 2020). Di seluruh dunia penyakit ini sudah menginfeksi sekitar hampir 2 juta orang dengan kematian mencapai lebih dari 100 ribu kasus. Bila dilihat, kematian akibat lebih banyak terjadi pada pasien lanjut usia. Selain itu, keparahan COVID-19 juga lebih banyak dijumpai pada individu-individu yang sedang atau pernah memiliki riwayat penyakit diabetes, jantung dan penyakit kronis lainnya. Yang menarik, tidak semua pasien COVID-19 menunjukkan gejala, atau hanya menunjukkan gejala yang ringan saja. Hal ini diduga akibat perbedaan kekuatan sistem imun tubuh, dimana pada usia dewasa muda, sistem imun lebih kuat daripada pasien usia lanjut (1).
Penyakit akibat virus memang pada umumnya merupakan ‘self-limiting disease’ yang mengandalkan kekuatan pertahanan tubuh. Karena itu telah banyak dikampanyekan untuk meningkatkan daya tahan tubuh untuk mencegah tertularnya infeksi virus, dan kalaupun tertular, tubuh akan kuat melawannya. Seperti apa sebenarnya sistem pertahanan tubuh manusia itu dan bagaimana ia bekerja?. Kajian ini akan membahas bagaimana sistem imun/pertahanan tubuh kita bekerja pada kondisi normal dan kondisi terserang virus, faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imun, serta makanan, minuman atau obat-obatan yang dapat digunakan untuk meningkatkannya.
Pengertian sistem imun dan respon imun terhadap infeksi virus
1. Apakah sistem imun itu?
Sistem imun adalah sistem daya tahan tubuh terhadap serangan substansi asing yang terpapar ke tubuh kita. Substansi asing tersebut bisa berasal dari luar maupun dalam tubuh sendiri. Contoh subtansi asing yang berasal dari luar tubuh (eksogen) misalnya bakteri, virus, parasit, jamur, debu, dan serbuk sari. Sedangkan substansi asing dari dalam tubuh dapat berupa sel-sel mati atau sel-sel yang berubah bentuk dan fungsinya. Substansi-substansi asing tersebut disebut imunogen atau antigen (2).
Apabila imunogen terpapar ke tubuh kita, maka tubuh kita akan meresponnya dengan membentuk respon imun dari sistem imun. Sistem imun secara harfiah merupakan sistem pertahanan diri yang menguntungkan, tetapi dalam kondisi tertentu dapat menimbulkan keadaan yang merugikan.
Respon imun terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase respon imun alami (innate imunity) dan fase respon imun adaptif (adaptive immunity). Respon imun alami akan terjadi pada awal terpaparnya imunogen ke tubuh kita. Apabila sistem imun alami ini bisa mempertahankan tubuh dari serangan imunogen, maka kita tidak akan menderita sakit (fase pertama). Sebaliknya, apabila sistem imun alami tidak bisa mempertahankan terhadap serangan imunogen, maka kita akan sakit/terinfeksi (fase kedua).
Sel-sel tubuh yang bertugas dalam sistem imun (sel-sel sistem imun) adalah kelompok sel-sel darah putih (leukosit). Dalam menjalankan tugasnya sel-sel leukosit ini terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama berperan dalam sistem imun alami, antara lain sel makrofag, sel neutrofil, sel eosinofil, dan sel dendritik; yang disebut sel APC (antigen presenting cells). Sel-sel APC merupakan sel yang bertugas mengenali dan mengolah imunogen, yang nantinya akan diserahkan ke sel-sel yang berperan dalam respon imun adaptif. Selain sel APC, ada sel NK (natural killer) yang berperan dalam respon imun alami. Kelompok sel kedua merupakan sel-sel yang berperan dalam respon imun adaptif, yaitu sel limfosit B (yang menghasilkan antibodi) dan sel limfosit T yang berperan menghasilkan sitokin. Sitokin ini akan mengaktifkan sel-sel yang berperan dalam sistem imun untuk lebih aktif dalam mempertahankan tubuh terhadap serangan mikroba yang sifat infektifnya tinggi, seperti bakteri gram negatif, bakteri gram positif, dan virus[2].
2. Bagaimana respon imun terhadap infeksi virus?
Ketika virus menginfeksi seseorang (inang), artinya virus tersebut menyerang sel-sel pada tubuh inang sehingga virus tersebut bertahan ‘hidup’ dan memperbanyak diri (bereplikasi) di dalam sel inang[3]. Secara umum, ada 3 mekanisme respon imun untuk mengeliminasi infeksi virus, yang akan dijabarkan sebagai berikut.
- Melalui antibodi. Sebelum masuk menginfeksi ke dalam sel inang, virus dapat disingkirkan oleh antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang secara spesifik mengenali antigen, termasuk virus, dan akan berikatan dengannya. Ikatan antibodi dengan virus akan membasmi virus dengan cara: (a) antibodi menetralisasi virus sehingga virus tidak lagi bisa menginfeksi sel inang; (b) beberapa antibodi dapat bekerja sekaligus bersamaan sehingga partikel virus berlekatan menjadi agregat (proses ini disebut aglutinasi) dan menjadi target yang jauh lebih mudah dikenali oleh sel-sel dalam sistem imun; (c) kompleks antibodi-virus akan berikatan pada reseptor permukaan sel sehinga mengaktivasi proses fagositosis, yaitu proses “penelanan” dan perusakan virus oleh sel fagosit (misalnya makrofag); dan (d) mengaktivasi sistem komplemen, yang pada akhirnya akan mengopsonisasi dan memfagositosis virus (3).
- Mekanisme sitotoksik. Jika virus sudah masuk mengineksi ke dalam sel inang, sel-sel sistem imun tidak dapat “melihat” atau mendeteksi keberadaan virus tersebut sehingga tubuh tidak tahu jika sel inang telah terinfeksi. Untuk mengatasi hal tersebut, sistem imun memiliki suatu metode yang mampu memperlihatkan apa yang ada di dalam suatu sel dengan menggunakan suatu molekul protein yang dinamakan MHC kelas I (class I major histocompatibility complex). MHC kelas I ini bertugas mempresentasikan potongan protein (peptide) hasil produksi virus di dalam sel ke permukaan sel.Salah satu jenis sel limfosit T, yaitu sel T sitotoksik, mampu mengenali MHC pada sel yang telah terinfeksi virus. Proses interaksi sel T dengan MHC ini akan memicu sel T memproduksi senyawa yang akan membunuh sel yang terinfeksi virus tersebut[3].Namun demikian, virus memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat tinggi, sehingga akhirnya juga dapat meloloskan diri dari deteksi oleh sel T, misalnya dengan cara menekan molekul MHC. Di sisi lain, sistem imun juga memiliki sel NK yang dapat mendeteksi sel yang memiliki jumlah molekul MHC jauh lebih sedikit dari ‘normal’. Sel NK ini juga akan mentarget sel tersebut yang terinfeksi virus tersebut dengan cara yang mirip dengan sel T sitotoksik[3].
- Melalui interferon. Selain dengan mekanisme sitotoksik, sel inang yang terinfeksi virus tersebut akan memproduksi dan melepaskan molekul protein yang disebut Interferon menghambat replikasi virus di dalam sel inang. Selain itu, interferon juga berperan sebagai molekul sinyal yang akan “memperingatkan” sel-sel sehat di sekitar sel yang terinfeksi akan keberadaan virus. Sel-sel di sekitar sel yang terinfeksi ini akan “bersiaga” dengan meningkatkan jumlah MHC kelas I pada permukaannya, sehingga dapat diidentifikasi oleh sel T yang akan mentarget sel tersebut yang terinfeksi virus tersebut dengan cara yang mirip dengan sel T sitotoksik[3].
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imun
1. Lingkungan lebih dominan dibandingkan genetik
Fungsi tubuh secara umum dapat dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu informasi genetik yang diturunkan dari kedua orang tua dan faktor lingkungan. Beberapa aktivitas sistem imun dipengaruhi oleh faktor genetik. Termasuk didalamnya adalah aktivitas pertama untuk eliminasi bakteri, jamur, dan virus. Komponen sistem imun yang dipengaruhi oleh keturunan ini bertanggung jawab terhadap pengenalan pertama yang terjadi segera saat bakteri, virus, atau jamur masuk ke dalam tubuh. Faktor kedua yang dapat mempengaruhi fungsi tubuh, termasuk fungsi pertahanan sistem imun adalah faktor lingkungan. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa faktor lingkungan berperan sangat penting dalam perkembangan komponen sistem imun, terutama komponen yang bertanggung jawab terhadap pertahan tubuh dalam jangka yang panjang. Orang kembar yang memiliki komponen tubuh yang seharusnya bekerja identik pun akan memiliki kemampuan pertahanan tubuh yang berbeda bila lokasi tinggalnya berbeda. Komponen sistem imun yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan ini bereaksi lebih lambat dalam menghadapi mikroba, bakteri, jamur, virus. Tetapi kemampuannya dalam mengeliminasi lebih spesifik, dan lebih bertahan lama (4).
2. Makanan
Makanan sehari-hari merupakan komponen yang paling utama yang membentuk diri kita. Hal ini tidak terkecuali untuk sistem imun tubuh. Sistem imun sangat dipengaruhi oleh makanan. Makanan yang kaya akan lemak dan gula atau biasa disebut western diet/makanan barat (seperti pada makanan cepat saji) cenderung menyebabkan stress pada sistem imun kita, sehingga mudah mengalami kerusakan dan menginisiasi penyakit. Makanan jenis ini akan meningkatkan produksi protein-protein yang menyebabkan kondisi stres tubuh. Pola makanan barat akan menyebabkan kita rentan terhadap penyakit degeneratif/metabolik seperti jantung, kolesterol, dan diabetes. Banyak makanan yang baik dikonsumsi sehari-hari, untuk meningkatkan atau setidaknya menjaga agar kondisi tubuh kita tetap baik seperti yoghurt, acar (produk fermentasi), dan makanan kaya serat. (5)
3. Usia
Usia sangat berpengaruh pada kemapuan sistem imun. Seperti sel-sel lain, pada umumnya sel-sel imun juga berada pada aktivitas puncaknya saat individu sudah dewasa. Setelah itu semakin tua usia sel-sel ini akan menurun aktivitasnya, termasuk dalam memproduksi protein yang berfungsi untuk melawan infeksi virus, yaitu interferon. Fungsi organ tubuh kita juga mulai menurun dengan meningkatnya usia.
4. Kondisi kesehatan
Orang yang memiliki penyakit lebih rentan terhadap serangan infeksi virus. Tidak semua penyakit yang meningkatkan kemungkinan individu untuk terinfeksi virus. Penyakit kronis (yang sudah diderita lama) seperti diabetes, hipertensi, jantung, atau kolesterol dan radang hati dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Kondisi stress (pikiran) juga cenderung meningkatkan kemungkinan individu untuk terkena penyakit infeksi.
5. Konsumsi obat-obatan
Terdapat beberapa golongan obat-obatan yang diketahui dapat menurunkan kemampuan sistem imun kita untuk mempertahankan diri, salah satunya golongan kortikosteroid serperti kortison, hidrokortison. Penggunaan obat-obat ini terutama dalam jangka waktu yang lama sangat mungkin menurunkan kekebalan tubuh kita.
Hal lain yang perlu diketahui adalah bakteri, virus akan menyebabkan infeksi bila bakteri dan virus tersebut melakukan kontak tubuh, misalnya melalui kulit, mata, saluran pencernaan maupun saluran kemih. Bila kulit dalam kondisi baik bakteri maupun virus akan sulit masuk, tetapi bila ada luka terbuka kan lebih mudah untuk masuk dan menginfeksi. Penggunaan masker untuk menutup saluran nafas (mulut dan hidung) akan membantu mencegah infeksi virus yang datang melalui udara.
Bagaimana cara meningkatkan sistem imun?
Sistem imun dapat ditingkatkan atau ditekan, salah satunya dengan pemberian imunomodulator. Imunomodulator adalah senyawa yang mampu berinteraksi dengan sistem imun sehingga dapat menaikkan (imunostimulator) atau menekan (imunosupresan) respon imun. Pengaruh senyawa tertentu untuk menaikkan maupun menekan respon imun dapat tergantung pada, antara lain dosis atau waktu pemberian (6)
Pada kondisi tertentu, misalnya penerima organ transplantasi dibutuhkan imunosupresan, misalnya steroid dan siklosporin, untuk menekan sistem imunnya agar tidak terjadi reaksi penolakan pada organ tersebut. Sebaliknya, pada keadaan dengan risiko tinggi terjadinya infeksi seperti pandemic Covid-19 ini, diperlukan imunostimulan untuk meningkatkan kemampuan tubuh menangkal infeksi virus. Pada dewasa ini banyak senyawa-senyawa baik vitamin maupun herbal dari alam yang tersedia secara komersial diklaim memiliki efek imunostimulan. Contoh-contoh senyawa yang dapat digunakan sebagai imunostimulan dibahas di bawah ini.
Macam-macam bahan/senyawa untuk meningkatkan system imun
2. Vitamin C
Studi pada pasien sehat, pemberian vitamin C memperbaiki beberapa komponen dari parameter imunitas manusia, seperti aktivitas antimikroba dan sel NK dan perbanyakan sel limfosit (7). Vitamin C membantu sel-sel imun untuk berpindah menuju tempat infeksi untuk membunuh mikroba. Pada saat yang sama vitamin C juga menjaga jaringan inang dari kerusakan yang berlebihan akibat meningkatnya matinya sel-sel imun neutrofil dan aktivitas makrofag. Jadi, vitamin C diperlukan untuk meningkatkan system kekebalan tubuh dan mempertahankan respon yang memadai terhadap patogen serta menghindari kerusakan yang berlebihan pada inang (8).
Dosis vitamin C per hari yang direkomendasikan untuk dewasa yaitu 75-90 mg dan pada perokok ditambah 35 mg. Pada dosis yang cukup, suplemen viamin C dapat dikatakan aman. Namun, terdapat beberapa efek samping yang mungkin muncul, seperti mual, muntah, insomnia, dan sakit kepala. Pada beberapa orang juga ditemukan bahwa vitamin C dapat menyebabkan batu ginjal. Penggunaan dalam jangka panjang dengan dosis 2 gram/hari dapat meningkatkan efek samping.
3. Vitamin D
Vitamin D berperan dalam mengatur perbanyakan sel T, mengontrol proses dan fungsi sel limfosit. Singkatnya, vitamin D mendukung aktivasi imunitas antibakteri dan antivirus. Pada kasus kekurangan vitamin D, kadar sitokin pro peradangan meningkat dan mengurangi efektivitas respon imun terhadap infeksi secara signifikan (9).
Dosis yang direkomendasikan untuk vitamin D per hari adalah 15 mcg (600 IU) pada kelompok umur 18-70 tahun dan untuk >71 tahun adalah 20 mcg (800 IU). Dosis terbesar yang dapat dikonsumsi adalah 100 mcg (4000 IU) per hari. Beberapa efek samping yang mungkin muncul pada penggunaan vitamin D adalah batuk, kesulitan menelan, dan pusing.
4. Vitamin E
Vitamin E bersifat sebagai antioksidan yang mampu menetralkan molekul yang tidak stabil yang dapat merusak sel. Vitamin E dapat melindungi vitamin A dan beberapa lipid dari kerusakan. Vitamin E dapat meningkatkan pembentukan sel linfosit T naif dan mengawali sinyal aktivasi sel T, serta memodulasi keseimbangan Th1/Th2 (10). Menurut penelitian Hussain et al. (2019), kadar immunoglobulin (IgG dan IgM) dan sel T (CD4+ dan CD8+) pada pasien yang menerima vitamin E meningkat secara signifikan dibandingkan dengan pasien yang menerima regimen anti-tuberkulosis dan meningkatkan imunitas pasien tuberkulosis (11).
Dosis vitamin E yang direkomendasikan adalah 15 mg/hari (22 IU dari vitamin E alami atau 33 IU dari vitamin E sintesis). Dosis tertinggi yang dapat dikonsumsi per hari adalah 1000 mg (1500 IU dari vitamin E alami atau 2200 IU dari vitamin E sintesis). Efek samping penggunaan vitamin E dengan dosis >400 IU/hari jangka panjang adalah diare, pusing, sakit kepala, mual, dan kram perut.
5. Zinc
Zinc membantu banyak enzim, protein, dan membentuk sel baru. Zinc juga melepaskan vitamin A dari penyimpanan di hati. Bila diminum dengan antioksidan, zinc dapat menghambat progresi degenerasi karena penuaan. Zinc diperlukan sebagai ion katalitik, strukrural, dan pengatur untuk enzim, protein, dan faktor transkripsi. Oleh karena itu, zinc merupakan elemen yang utama dalam beberapa mekanisme homeostatis tubuh, termasuk respon imun (12). Zinc juga dapat menginduksi perlekatan sel myelomonositik ke endothelium. Defisiensi zinc tidak hanya mempengaruhi rekruitmen neutrofil, tetapi juga menurunkan kemotaksis dari neutrofil. Dalam kondisi ini juga dapat mengganggu aktivitas sel NK serta fagositosis makrofag dan neutrofil (13).
Dosis zinc yang direkomendasikan adalah 8-11 mg/hari dengan dosis tertinggi yang dapat ditoleransi sebesar 40 mg/hari. Pada dosis besar, zinc sulfat dapat menyebabkan diare, kram perut, dan muntah setalah 3-10 jam dari pemakaian. Gejala akan hilang setelah pengehentian konsumsi.
6. Selenium
Selenium bersifat sebagai antioksidan yang mampu menteralkan molekul yang tidak stabil yang dapat merusak sel. Selenium juga dapat meregulasi aktivitas hormon tiroid. Sebagai selenoprotein, selenium dibutuhkan untuk membantu fungsi neutrofil, makrofag, sel NK, sel limfosit T, dan mekanisme imun yang lain. Asupan selenium yang meningkat dapat dikaitkan dengan pengurangan risiko kanker dan dapat meringkankan kondisi patologis yang lain, termasuk stres oksidatif dan peradangan (12). Kekurangan selenium menyebabkan meningkatnya peradangan yang mungkin disebabkan oleh kenaikan stres oksidatif.
Dosis selenium per hari yang direkomendasikan adalah 55 mcg dengan batas tertinggi yaitu 400 mcg. Gejala efek samping pada overdosis selenium adalah diare, bau mulut dan keringat seperti bawang putih, kerontokan rambut, mual, dan muntah.
7. Herbal Echinacea
Secara tradisional, tumbuhan genus Echinacea sudah digunakan masyarakat Amerika Utara jauh sebelum sampai ke Eropa dan benua lain. Tumbuhan ini secara tradisional digunakan untuk pengobatan dan pencegahan terhadap berbagai penyakit, termasuk infeksi saluran pernapasan, flu, bronchitis, sakit gigi, radang tenggorokan, infeksi virus herpes, dan beberapa gangguan kulit (kulit gatal-gatal, luka, digigit serangga, alergi dan infeksi lain). Yang paling banyak digunakan adalah Echinacea purpurea. Bahan yang digunakan untuk pengobatan tradisional maupun studi ilmiah berupa “jus perasan” berair atau ekstrak etanol dari bagian diatas tanah tanaman kering atau akarnya (14). Produk yang mengandung ekstrak Echinacea ini juga ada di Indonesia dengan klaim peningkat sistem imun (imunostimulan).
Banyak hasil uji praklinik yang menunjukkan bahwa Echinacea memiliki aktivitas immunostimulan pada level praklinik. Namun hasil uji klinik Echinacea sebagai imunostimulan masih menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa uji klinik menunjukkan efektivitas ekstrak EP pada pasien dewasa dengan gejala pilek akibat influenza (15).
Memang ada variabilitas dalah hasil uji klinik Echinacea. Adanya perbedaan hasil uji dapat dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah karena perbedaan metode preparasi produk, dan perbedaan sumber tumbuhan Echinacea yang digunakan sebagai bahan baku produk. Untuk itu penggunaan produk suplemen atau obat yang berbasis Echinacea perlu melihat efikasi hasil uji klinik produk. Kandungan kimia aktif dalam Echinacea yang diduga memiliki aktivitas imunostimulan diataranya adalah senyawa polisakarida seperti frauktan, senyawa alkilamin dan senyawa fenolik seperti asam kafeat dan asam khorikat (16). Kandungan senyawa-senyawa tersebut dan juga senyawa-senyawa lain bisa berbeda antar produk akibat perbedaan metode pembuatan ekstrak dan perbedaan bahan baku. Hal inilah yang menyulitkan interpretasi klinik menjadi semakin sulit (14).
Ada banyak mekanisme imunostimulan yang diaktivasi dengan pemberian Echinacea. Salah satu yang berkaitan dengan penyakit Covid-19 adalah kemampuan menurunkan sitokin IL-6. IL-6 merupakan salah satu sitokin yang merugikan dalam patogenisitas infeksi virus SARS-Cov-2. Walaupun efeknya spesifik pada infeksi virus tersebut belum jelas, namun dari penelitian-penelitian sebelumnya secara umum Echinacea mampu menekan ekspresi IL-6 dalam beberapa model Penelitian (17). Walaupun ada juga penelitian yang menunjukkan Echinacea menginduksi IL-6 (18), namun penelitian yang menunjukkan Echinacea menurunkan level IL-6 jauh lebih dominan. Hal ini menunjukkan potensi Echinacea dalam mencegah infeksi SARS-Cov-2. Efektivitas tersebut perlu dipastikan dengan uji klinik pada kasus Covid-19.
8. Propolis
Propolis merupakan produk dari lebah madu yang sering disebut sebagai lem lebah karena digunakan oleh lebah dalam pembuatan sarang. Propolis merupakan kombinasi lilin lebah dan air liur yang merupakan sistem pertahan yang dibangun oleh lebah. Hingga saat ini, propolis telah banyak diteliti manfaatnya untuk kesehatan, salah satunya untuk meningkatkan kekebalan tubuh (immunostimulan) (19). Banyak senyawa bioaktif yang berhasil diidentifikasi dari propolis. Umumnya, senyawa yang ada dalam propolis berupa senyawa asam fenolik, flavonoid, terpenoid, lignan, senyawa aromatic, asam amino, asam lemak, vitamin dan mineral. Namun diantara banyak senyawa tersebut, penelitian tentang aktivitas biologis dari propolis lebih mengarah kepada kandungan senyawa flavonoid dan fenolik yang cukup tinggi (20). Senyawa flavonoid dan fenolik yang umumnya ada dalam propolis berupa krisin, galangin, pinostrobin, pinobanksin, dan pinocembrin (kandungan utama) (21). Kandungan utama senyawa dalam propolis sangat bervariasi karena dipengaruhi faktor asal sarang lebah, lokasi, dan musim. Propolis yang bersal dari daerah yang berbeda memiliki kandungan kimia yang berbeda yang salahsatunya terlihat dari warnanya yang berbeda antara satu dengan yang lain (hijau, merah atau coklat). Variasi inilah yang menyebabkan sulitnya mengekstrapolasikan klaim manfaat kesehatan dari propolis (22).
Berkaitan dengan potensi propolis dalam mencegah infeksi SARS-Cov-2, maka propolis memiliki beberapa aktivitas yang relavan. Pertama, adalah aktivitas imunostimulan. Aktivitas imunostimulan dari propolis sudah banyak diteliti dan dipublikasikan (23) di banyak jurnal. Aktivasi sistem imun oleh propolis diharapkan mampu melindungi seseorang dari infeksi virus atau meningkatkan sistem kekebalan tubuh seseorang sehingga tidak mudah sakit atau menderita keparahan ketika infeksi datang. Kedua, propolis juga memiliki aktivitas antivirus dengan mencegah replikasi beberapa virus, termasuk virus tipe korona seperti virus influenza (24). Bahkan propolis memiliki aktivitas virusidal dengan merusak “amplop” virus HSV dan VSV (25). Ketiga aktivitas propolis sebagai agen antiiflamasi. Walaupun ada penelitian yang menunjukkan bahwa propolis ada kecenderungan meningkatkan ekspresi mediator inflamasi IL-6 (26), namun mayoritas hasil penelitian menunjukkan bahwa propolis memiliki efek antiinflamasi dengan menurunkan ekspresi sitokin IL-6 dan sitokin proinflamasi yang lain (27). IL-6 merupakan sitokin yang terlibat dalam badai sitokin pada infeksi SARS-Cov-2, sehingga hasil penelitian ini menunjukkan bahwa propolis memiliki potensi untuk digunakan dalam pencegahan infeksi SARS-Covid-2. Selain itu, uji klinik dari propolis yang dikombinasikan dengan Echinacea dan vitamin C mampu mempercepat kesembuhan pada anak-anak yang mengalami infeksi saluran pernapasan (28). Namun demikian, efektivitasnya sebagai immunostimulan masih perlu dibuktikan pada uji klinik dengan pasien Covid-19.
9. Empon-empon (Kurkumin)
Indonesia kaya akan tumbuhan obat, terutama empon-empon (tumbuhan keluarga Zingiberaceae) yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Beberapa empon-empon yang paling umum digunakan dalam pengobatan tradisional di Indonesia dan mudah untuk diperoleh yaitu Kunyit, Temulawak, dan Jahe. Kunyit (Curcuma longa) dan Temulawak (Curcuma zanthorrhiza) merupakan contoh empon-empon yang sudah banyak diteliti sebagai imunostimulan. Secara empiris, kunyit dan temulawak sudah digunakan dalam pengobatan tradisional untuk berbagai penyakit baik di Indonesia maupun di negara lain. Kandungan kimia utama kedua tanaman tersebut adalah kurkuminoid (kurkumin sebagai senyawa mayor) yang juga merupakan salah satu senyawa yang paling banyak diteliti di dunia.
Beberapa data praklinis dan klinis menunjukkan efektivitas kurkumin dalam pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit termasuk kanker, kardiovaskular, inflamasi, metabolisme, neurologis, dan penyakit kulit (29). Kemampuan imunomodulator dari kurkumin timbul dari interaksinya dengan berbagai mekanisme yang terlibat dalam modulasi sistem imun, bukan hanya komponen seluler (seperti sel dendritik, makrofag, dan limfosit B maupun T), tetapi juga komponen molekuler yang terlibat dalam proses inflamasi, seperti sitokin dan berbagai faktor transkripsi (30). Hal ini menunjukkan besarnya potensi kurkumin sebagai immunostimulan.Namun, yang paling menonjol dan paling banyak dipelajari dari kurkumin adalah profil aktivitas antiinflamasinya (31). Efektivitas kurkumin sebagai agen antiinflamasi sudah banyak dilakukan hingga uji klinik pada manusia (32). Salahsatu mediator inflamasi penting dalam Covid-19 adalah IL-6. Kurkumin merupakan senyawa yang mampu menghambat ekspresi IL-6 (33), sehingga menjadikan kurkumin sebagai agen yang perlu dipertimbangkan dalam modulasi sitokin proinflamasi dalam Covid-19 dimana terjadi badai sitokin proinflamasi di alveoli. Kurkumin juga mampu menghambat infeksi virus influenza secara in vitro (34). Walaupun belum ada uji klinik efek kurkumin pada kassus Covid-19, namun penggunaan tradisional (kunyit dan temulawak) dan banyaknya hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan aktivitas imunomodulator dan mediator sitokin proinflamasi dari kurkumin, menjadikan kurkumin sebagai suplemen atau adjuvant untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi Covid-19. Salahsatu hal penting yang perlu diperhatikan dalam penggunaan kurkumin pada manusia adalah ketersediaan hayatinya yang rendah, sehingga perlu studi penyesuaian dosis untuk mencapai dosis yang tepat (32).
10. Meniran
Meniran (Phyllantus niruri) merupakan tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia dan sudah lama dimanfaatkan dalam pongobatan tradisional di Indonesia (Jamu), maupun di negara lain, seperti India (Ayurveda). Secara empiris, meniran digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk membantu pengobatan penyakit hati (hepatoprotektor), sedangkan di Malaysia digunakan untuk pengobatan diare, penyakit ginjal, dan batuk. Tanaman ini banyak tumbuh liar di kebun, pekarangan, ladang, dan hutan, umumnya ditempat yang relatif lembab. Kandungan kimia meniran adalah korilagin, geraniin, asam galat, filantin, hipofilantin, asam elagat, filtetralin, niranthin, katekin, kuersetin, astragalin, dan asam sebulagat. Adapun kandungan senyawa utamanya adalah filantin (35). Di Indonesia, ada beberapa produk yang menggunakan meniran sebagai bahan baku obat tradisional dengan klaim imunostimulan.
Beberapa penelitian menunjukkan efek imunostimulan dari meniran baik spesifik maupun non spesifik (36). Selain meningkatkan respon imun humoral dan seluler, ekstrak dan senyawa filantin dalam meniran mampu menghambat migrasi leukosit yang penting untuk meredakan proses inflamasi (37). Efikasi meniran sebagai imunostimulan juga sudah dibuktikan pada uji klinis dalam konteks penyakit hepatitis B kronis, TBC paru-paru, vaginitis, dan juga pada cacar air (38). Bagaimanapun efikasi dan mekanisme terkait efek immunostimulan dari meniran masih memerlukan penelitian lebih lanjut, terutama pada level klinik dalam konteks Covid-19.
Senyawa utama dalam meniran (Filantin dan hipofilantin) mampu menurunkan ekspresi beberapa sitokin pro-inflamasi, seperti IL-6, IL-1β, dan IL-4, serta faktor transkripsi inflamasi seperti TNF-α. Hal ini menunjang pengembangan meniran sebagai agen imunostimulan sekaligus antiinflamasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen adjuvant dalam terapi Covid-19 (39). Selain aktivitas immunostimulan dan antiinflamasi, Meniran juga memiliki aktivitas antivirus pada virus hepatitis B (HBV), hepatitis C (HCV), HIV, dan virus Herpes simplex (HSV) (40).
Rekomendasi
- Virus Covid-19 dapat menginfeksi siapa saja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, status sosial, ataupun status kesehatan.
- Karena penyakit akibat virus biasanya merupakan “self limiting disease”, maka daya tahan tubuh menjadi sangat penting untuk menangkal virus dan mencegah perburukan gejala penyakit
- Daya tahan tubuh dapat dipengaruhi oleh faktor makanan, lingkungan, dan dapat ditingkatkan dengan makanan yang bergizi dan mengandung vitamin dan mineral, utamanya adalah Vitamin C, D, E, zinc dan selenium.
- Beberapa bahan alam memiliki potensi untuk meningkatkan sistim imun, walaupun uji-uji yang menjadi dasarnya sebagian besar berupa uji preklinik. Sediaan herbal yang berpotensi dapat meningkatkan system imun antara lain adalah Echinaceae, Phylantus niruri (meniran), madu/propolis, dan empon-empon yang mengandung curcumin.
- Dari kajian terhadap aktivitasnya, tidak terdapat hal-hal yang membahayakan pemakaiannya untuk menghadapi Covid-19. Respon seseorang mungkin bervariasi terhadap sediaan herbal ini, sehingga jika dirasakan manfaatnya, maka dapat diteruskan penggunaannya.
Daftar Pustaka:
- [online] (https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019), diakses 11 April 2020.
- Abbas, A. et al., 2018, Cellular and molecular immunology, 9th, Saunders Elsevier.
- Laing, K., Immune responses to viruses, Bitesized Immunology. British Society for Immunology, [online] (https://www.immunology.org/public-information/bitesized-immunology/pathogens-and-disease/immune-responses-viruses), diakses 10 April 2020.
- Science, 2016, 352(6285): 535-853)
- Sasmito, E., 2017, Imunomodulator Bahan Alami, Penerbit Andi.
- Sasmito, E., Sahid, M.N.A., dan Ikawati, M. (editor), 2020, Buku Petunjuk Praktikum Imunologi Farmasi, Fakultas Farmasi UGM.
- Anonim, 2017, Vitamin C, https://www.mayoclinic.org/drugs-supplements-vitamin-c/art-20363932, diakses pada 13 April 2020.
- Carr, A.C., Maggini, S., 2017, Vitamin C and Immune Function, Nutrients, 9, 1211.
- Iruretagoyena, M., Hirigoyen, D., Naves, R., Burgos, P.I., 2015, Immune Response Modulation by Vitamin D: Role in Systemic Lupus Erythematosus, Frontiers in Immunology, 6, 513.
- Lee, G.Y., Han, S.N., 2018, The Role of Vitamin E in Immunity, Nutrients, 10, 1614.
- Hussain, M.I., Ahmed, W., Nasir, M., Mushtaq M.H., Sheikh, A.A., Shaheen, A.Y., Mahmood, A., 2019, Immune boosting role of vitamin E against pulmonary tuberculosis, Pak J Pharm Sci, 32(1 supplementary), 269-276.
- Ferenčík, M., Ebringer, L., 2003, Modulatory effect of selenium and zinc on the immune system, Folia Microbiologica, 48, 417.
- Rink, L., Gabriel, P., 2000, Zinc and the immune system, Proceedings of the Nutrition Society, 59, 541-552.
- Hudson, J. B. (2012). Applications of the phytomedicine Echinacea purpurea (Purple Coneflower) in infectious diseases. J Biomed Biotechnol, 2012, 769896.
- Manayi, A., Vazirian, M., & Saeidnia, S. (2015). Echinacea purpurea: Pharmacology, phytochemistry and analysis methods. Pharmacognosy Reviews, 9(17), 63-72.
- Dobrange, E., Peshev, D., Loedolff, B., & Van den Ende, W. (2019). Fructans as Immunomodulatory and Antiviral Agents: The Case of Echinacea. Biomolecules, 9(10).
- Park, S., Lee, M. S., Jung, S., Lee, S., Kwon, O., Kreuter, M. H., . . . Kim, Y. (2018). Echinacea purpurea Protects Against Restraint Stress-Induced Immunosuppression in BALB/c Mice. J Med Food, 21(3), 261-268.
- Burger, R. A., Torres, A. R., Warren, R. P., Caldwell, V. D., & Hughes, B. G. (1997). Echinacea-induced cytokine production by human macrophages. International Journal of Immunopharmacology, 19(7), 371-379.
- Braakhuis, A. (2019). Evidence on the Health Benefits of Supplemental Propolis. Nutrients, 11(11), 2705
- Moreno, M. I., Isla, M. I., Sampietro, A. R., & Vattuone, M. A. (2000). Comparison of the free radical-scavenging activity of propolis from several regions of Argentina. J Ethnopharmacol, 71(1-2), 109-114.
- Markham, K. R., Mitchell, K. A., Wilkins, A. L., Daldy, J. A., & Lu, Y. (1996). HPLC and GC-MS identification of the major organic constituents in New Zeland propolis. Phytochemistry, 42(1), 205-211.
- Anjum, S. I., Ullah, A., Khan, K. A., Attaullah, M., Khan, H., Ali, H., Dash, C. K. (2019). Composition and functional properties of propolis (bee glue): A review. Saudi J Biol Sci, 26(7), 1695-1703.
- Sforcin, J. M. (2007). Propolis and the immune system: a review. J Ethnopharmacol, 113(1), 1-14.
- Serkedjieva, J., Manolova, N., & Bankova, V. (1992). Anti-influenza virus effect of some propolis constituents and their analogues (esters of substituted cinnamic acids). J Nat Prod, 55(3), 294-302
- Amoros, M., Sauvager, F., Girre, L., & Cormier, M. J. A. (1992). In vitro antiviral activity of propolis. 23(3), 231-240.
- Bueno-Silva, B., Kawamoto, D., Ando-Suguimoto, E. S., Alencar, S. M., Rosalen, P. L., & Mayer, M. P. (2015). Brazilian Red Propolis Attenuates Inflammatory Signaling Cascade in LPS-Activated Macrophages. PLoS One, 10(12), e0144954.
- Alqarni, A. M., Niwasabutra, K., Sahlan, M., Fearnley, H., Fearnley, J., Ferro, V. A., & Watson, D. G. (2019). Propolis Exerts an Anti-Inflammatory Effect on PMA-Differentiated THP-1 Cells via Inhibition of Purine Nucleoside Phosphorylase. Metabolites, 9(4), 75.
- Cohen, H. A., Varsano, I., Kahan, E., Sarrell, E. M., & Uziel, Y. (2004). Effectiveness of an Herbal Preparation Containing Echinacea, Propolis, and Vitamin C in Preventing Respiratory Tract Infections in Children: A Randomized, Double-blind, Placebo-Controlled, Multicenter Study. Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine, 158(3), 217-221.
- Kunnumakkara, A. B., Bordoloi, D., Padmavathi, G., Monisha, J., Roy, N. K., Prasad, S., & Aggarwal, B. B. (2017). Curcumin, the golden nutraceutical: multitargeting for multiple chronic diseases. Br J Pharmacol, 174(11), 1325-1348.
- Momtazi-Borojeni, A. A., Haftcheshmeh, S. M., Esmaeili, S. A., Johnston, T. P., Abdollahi, E., & Sahebkar, A. (2018). Curcumin: A natural modulator of immune cells in systemic lupus erythematosus. Autoimmun Rev, 17(2), 125-135.
- Shimizu, K., Funamoto, M., Sunagawa, Y., Shimizu, S., Katanasaka, Y., Miyazaki, Y., Morimoto, T. (2019). Anti-inflammatory Action of Curcumin and Its Use in the Treatment of Lifestyle-related Diseases. European cardiology, 14(2), 117-122.
- Hsu, C.-H., & Cheng, A.-L. (2007). Clinical Studies With Curcumin. In B. B. Aggarwal, Y.-J. Surh, & S. Shishodia (Eds.), The Molecular Targets and Therapeutic Uses of Curcumin in Health and Disease (pp. 471-480). Boston, MA: Springer US.
- Devi, Y. S., DeVine, M., DeKuiper, J., Ferguson, S., & Fazleabas, A. T. (2015). Inhibition of IL-6 Signaling Pathway by Curcumin in Uterine Decidual Cells. PLoS One, 10(5), e0125627.
- Chen, D.-Y., Shien, J.-H., Tiley, L., Chiou, S.-S., Wang, S.-Y., Chang, T.-J., . . . Hsu, W.-L. (2010). Curcumin inhibits influenza virus infection and haemagglutination activity. Food Chemistry, 119(4), 1346-1351.
- Jantan, I., Haque, M. A., Ilangkovan, M., & Arshad, L. (2019). An Insight Into the Modulatory Effects and Mechanisms of Action of Phyllanthus Species and Their Bioactive Metabolites on the Immune System. Front Pharmacol, 10, 878.
- Muthulakshmi, M., Subramani, P. A., & Michael, R. D. (2016). Immunostimulatory effect of the aqueous leaf extract of Phyllanthus niruri on the specific and nonspecific immune responses of Oreochromis mossambicus Peters. Iranian journal of veterinary research, 17(3), 200-202.
- Sarisetyaningtyas, P., Hadinegoro, S., & Munasir, Z. (2016). Randomized controlled trial of Phyllanthus niruri Linn extract. Paediatrica Indonesiana, 46(2), 77-81.
- Raymond Rubianto, T., Liana Wijaya, S., & Dwi, N. (2017). The use of Phyllanthus niruri L. as an immunomodulator for the treatment of infectious diseases in clinical settings. Asian Pacific Journal of Tropical Disease, 7(3), 132-140.
- Wu, W., Li, Y., Jiao, Z., Zhang, L., Wang, X., & Qin, R. (2019). Phyllanthin and hypophyllanthin from Phyllanthus amarus ameliorates immune-inflammatory response in ovalbumin-induced asthma: role of IgE, Nrf2, iNOs, TNF-α, and IL’s. Immunopharmacol Immunotoxicol, 41(1), 55-67.
- Tan, W. C., Jaganath, I. B., Manikam, R., & Sekaran, S. D. (2013). Evaluation of antiviral activities of four local Malaysian Phyllanthus species against herpes simplex viruses and possible antiviral target. International journal of medical sciences, 10(13), 1817-1829.
Kontributor:
Prof. Dr. Ediati Sasmito, SE., Apt.; Dr. Muthi’ Ikawati, M.Sc., Apt.,; M. Novrizal A. Sahid, M.Eng., Apt., Ph.D.; Dr. Nanang Fakhrudin, MSc, Apt,; Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt.; Drh Retno Murwanti, MP, PhD.