Farmasi UGM – Fakultas Farmasi kembali menambah jajaran guru besarnya. Dosen Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik, Prof. Dr. apt. Ika Puspita Sari, S.Si., M.Si. resmi dikukuhkan menjadi guru besar pada Kamis (7/12) di Balai Senat, Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada. Dengan demikian, Prof. Dr. apt. Ika Puspita Sari, S.Si., M.Si. resmi menjadi bagian dari 18 guru besar yang saat ini dimiliki Farmasi UGM.
Dalam pidatonya yang berjudul, “Penerapan Farmakokinetik dan Farmakodinamik dalam Optimalisasi Terapi Antimikroba”, Prof. Ika menekankan pentingnya pengaplikasian Farmakokinetik dan Farmakodinamik untuk mendukung pengendalian resistensi mikroba. Mengutip dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2019, terdapat 700.000 kematian yang diakibatkan oleh resistensi mikroba. “Bahkan, peneliti telah meramalkan bahwa akan terjadi kematian yang sangat besar pada tahun 2050. Tidak kurang dari 10 juta kematian disebabkan karena resistensi mikroba. Angka ini lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker pada tahun yang sama, yaitu 8,2 juta kematian,” tambahnya.
Sebagai seorang guru besar di bidang farmakologi dan farmasi klinik, beliau menyadari pentingnya penerapan kebijakan pengendalian resistensi dari WHO, yaitu penerapan one health. Penerapan kebijakan one health dipercaya mampu mengendalikan resistensi mikroba karena adanya pendekatan kolaborasi dan multi disiplin. Selain itu, one health juga dilakukan pada tingkat lokal hingga global terkait kesehatan manusia dengan hubungannya terhadap kesehatan hewan dan lingkungan.
Prof. Ika memaparkan bahwa hewan menjadi salah satu faktor munculnya mikroba yang resisten terhadap antimikroba. Kemudian, mikroba ini dapat masuk ke manusia melalui makanan. Misalnya, akibat adanya residu antimikroba pada daging ternak yang tidak rusak oleh berbagai metode memasak makanan. Selain perbaikan pada metode memasak daging, pengendalian resistensi antimikroba dapat dilakukan penerapan penggunaan antimikroba yang bijak yang merupakan bagian dari program WHO, yaitu antimicrobial stewardship. Antimikroba bijak mengutamakan prinsip pembatasan penggunaan antimikroba Access, Watch dan Reserve (AWaRe) dengan disertai dengan penerapan farmakokinetik dan farmakodinamik. Penerapan antimikroba bijak ini sesuai dengan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 3, yaitu Good Health and Well Being, dimana tujuan dari penerapan antimikroba bijak adalah sebagai upaya pengendalian resistensi antimikroba dengan meningkatkan kualitas penggunaan antimikroba dan meningkatkan kesembuhan serta keselamatan pasien. Oleh karena itu penting untuk meningkatkan peran apoteker dalam menangani resistensi antimikroba ini. Prof. Ika juga menyampaikan terkait ilmu yang harus dikuasai oleh seorang apoteker dalam upaya menjalankan penatagunaan antimikroba, yaitu pemahaman bahwa sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang diaplikasikan pada sebuah antimikroba dipengaruhi oleh organ sumber infeksi. Selanjutnya, hal ini dapat menjadi acuan dalam pemilihan antimikroba yang optimal. Selain itu, perlu diperhatikan sifat fisika kimia antimikroba dan kondisi pasien. Sifat fisika kimia sebuah antimikroba dapat berpengaruh pada jumlah obat yang mampu menembus membran menuju lokasi infeksi. Sedangkan kondisi pasien, menjadi pertimbangan dalam waktu pemberian antimikroba. “Pada pasien kritis, pemberian antimikroba bijak mengutamakan masuknya antimikroba sesegera mungkin mengingat penundaan antimikroba akan meningkatkan kematian pasien,” paparnya.
Terakhir, Prof. Ika menegaskan kembali terkait pentingnya farmakokinetik dan farmakodinamik dalam penanganan resistensi antimikroba. “Peran ilmu farmakologi khususnya farmakokinetik dan farmakodinamik harus terus ditingkatkan mengingat optimalisasi antimikroba dan obat-obat lainnya membutuhkan pertimbangan farmakokinetik dan farmakodinamik,” pungkasnya.
Penulis: Zahra Salsabila