JAKARTA – Kala duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), Pre Agusta Siswantoro terkesan dengan kepintaran guru kimia yang mengajarnya hingga membuat ia tertarik dengan pelajaran kimia.
Selepas lulus dari SMA I Kediri, dia tanpa ragu memutuskan kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada pada tahun 1980.
Bicara memori semasa kuliah, dia mengaku terkesan dengan sikap jujur dan saling percaya antara mahasiswa dengan pemilik warung pada masa itu dan fenomena ini rasanya sudah langka di era zaman now.
“Karena uang terbatas maka kalau makan di warung, kita ngutang dulu pada pemilik warung.”
“Biasanya, setelah selesai makan, kita akan mencatat sendiri apa saja yang kita makan lalu nanti harganya ditotal oleh pemilik warung. ”
“Semua dicatat dalam sebuah catatan dan tiap mahasiswa punya catatannya sendiri yang dipegang pemilik warung,” kata pria yang dulu aktif di Senat Mahasiwa Fakultas Farmasi ini.
Menurut Pre, saat akhir bulan dan mahasiwa mendapat uang, maka mereka tinggal membayar total hutang masing-masing kepada pemilik warung.
Sebagai tanda lunas, mereka mencoret sendiri catatan hutang itu.
Tahun 1985, ia lulus kuliah dan memutuskan mengikuti pendidikan manajemen di
Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) di Jakarta.
“Saya perlu menambah pengetahuan di bidang manajemen.”
“Saya sekolah selama setahun dan mendapat gaji sebesar Rp170.000,00 sebulan sehingga cukup untuk mengongkosi biaya hidup,” paparnya kala ditemui KAGAMA di kantornya beberapa waktu lalu.
Setelah lulus, dia ditawari bekerja di beberapa perusahaan. Lantas ia memilih bergabung di PT Prafa [kini PT Darya Varia] di tahun 1987 dan berkerja di perusahaan tersebut hingga menjabat posisi Manajer Produksi.
Di tahun 1993, Pre memutuskan bergabung dengan PT Kalbe Farma.
Awalnya dia menempati posisi sebagai Manajer Produksi sekaligus Asisten Direktur Riset dan Pengembangan.
Selama berkarier di Kalbe Farma ada hal yang menurutnya paling berkesan baginya.
“Salah satu alasan mengapa saya bergabung di Kalbe Farma karena perusahaan ini yang membuat obat maag, Promag.”
“Kala di riset, saya dapat kesempatan mengelola Promag sehingga bisa tahu komposisinya seperti apa.”
“Saya sempat mengubah komposisi Promag sehingga jadi lebih efektif, itu sekitar
tahun 1997,” ungkap Pre.
Kariernya di Kalbe Farma terbilang berkibar.
Ia dipercaya menjabat berbagai posisi penting termasuk di beberapa anak perusahaan, antara lain ia pernah menjadi Direktur Manufaktur PT Bintang Toedjoe, Direktur PT Global Chemindo Megatrading, Direktur Logistik PT Enseval, dan hingga kini ia ditunjuk sebagai Direktur Manufaktur Kalbe Farma.
Bicara tentang hilirisasi hasil penelitian universitas oleh dunia industri di Tanah Air, Pre memaparkan bahwa dalam industri butuh inovasi agar mampu bersaing.
Namun, hasil riset atau penelitian dikatakan inovasi jika sudah bisa dinikmati langsung oleh masyarakat.
“Lewat kerja sama dengan perguruan tinggi bisa bisa dihasilkan inovasi yang mampu menyokong industri dalam negeri jadi mandiri dan tidak lagi bergantung pada impor.”
“Jadi hasil penelitian bisa memberi nilai tambah sekaligus memiliki nilai jual.”
“Bila hal ini dapat berjalan, maka industri Indonesia jadi lebih baik, tak lagi sekadar menjadi ‘tukang jahit’,” harap pria kelahiran 1962 tersebut.
Oleh sebab itu, dalam pandangan Pre, akademisi, pelaku industri, serta pemerintah mesti punya visi yang sejalan.
“Para peneliti di perguruan mesti membuahkan hasil penelitian yang dapat langsung dimanfaatkan masyarakat sehingga punya nilai jual.”
“Pelaku industri juga bisa memfasilitasi riset atau penelitian hingga menghasilkan
inovasi yang punya nilai jual lalu memasarkannya.”
“Sementara pemerintah dapat memfasilitasi dengan bantuan dana guna menggalakkan riset yang hasilnya punya nilai jual di perguruan tinggi serta membuat regulasi yang mendorong dunia industri di Tanah Air menjadi maju,” pungkasnya. (Jos)
Sumber : kagama.co