Proses pembangunan profesi apoteker yang telah berjalan selama 65 tahun, sebenarnya telah menimbulkan banyak perubahan. Seiring dengan proses evolusi atau inovasi praktik kefarmasian saat ini regulasinya telah diupayakan agar sejalan.
Terakhir, melalui PP 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, peran apoteker secara konkret sudah didefinisikan dengan gamblang. Menurut PP tersebut praktik apoteker di komunitas atau di apotek adalah memberikan pelayanan obat dengan resep dokter dan pemberian informasi obat pada pasien.
Dengan aktifitas tersebut, apoteker diharapkan lebih fokus untuk memberikan pharmaceutical care agar pasien mendapatkan outcome yang optimal dari obat dan pengobatan yang diperoleh. Sayangnya, hingga saat ini aktifitas tersebut masih sulit diwujudkan.
“Penyebab utamanya adalah adanya kekeliruan cara berpikir. Apoteker masih menggunakan “kotak” yang lama untuk aktivitas yang baru. Padahal, pada “kotak” lama apotek diposisikan sebagai usaha dagang sehingga aktifitas yang dominan adalah jual beli obat,” ujar Drs. M. Dani Pratomo, MM., Apt, Elected President di Federation of Asian Pharmaceutical Association, di Fakultas Farmasi UGM, Rabu (27/9).
Menurut Dani Pratomo, memosisikan apotek sebagai usaha dagang terkait secara langsung dengan perubahan orientasi praktik kefarmasian dari compounding ke dispensing. Hal ini terjadi akibat perkembangan teknologi yang menjadikan industri farmasi tumbuh pesat. Saat masih berorientasi compounding kompetensi apoteker masih relevan dan dibutuhkan, terutama untuk mencegah terjadinya inkompatibilitas sehingga stabilitas hasil racikannya bisa dijamin untuk waktu tertentu.
Menurut Dani, perubahan akan datang terus menerus, dan aktifitas apoteker seharusnya juga bisa mengikuti. Hal yang selama ini kurang mendapat perhatian dari para apoteker adalah memaksakan pemakaian “kotak” yang ada untuk menampung aktifitas baru akibat adanya perubahan.
“Apabila ditelaah lebih dalam sebenarnya aktifitas dispensing membutuhkan ‘kotak” yang berbeda dengan aktifitas compounding. Demikian pula dengan aktifitas pharmaceutical care. Oleh arena itu, tidak mengherankan bila akhirnya seperti yang kita rasakan saat ini, keberadaan apoteker semakin tenggelam di tengah-tengah masyarakat,” tuturnya.
Menyampaikan orasi ilmiah berjudul Era Bonus Demografi: Momentum Tepat Untuk Mewujudkan Eksistensi Apoteker, Dani Prakoso mengatakan belajar dari pengalaman dan memahami magnitude dan kecepatan perubahan saat ini dan akan datang maka diharapkan pihak terkait bisa mendefiniskan kembali praktik kefarmasian seorang apoteker yang sesuai dengan perubahan. Selain itu, diharapkan bisa membuat “kotak” baru untuk mewadahinya.
“Kita harus merancang aturan main untuk “kotak” baru dan mensosialisasikannya agar para pihak berkepentingan terkait memahami dan merasakan manfaat kehadiran apoteker,” paparnya. (Humas UGM/ Agung)