Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada kembali mengadakan seminar nasional bertajuk Phamacious 2017. Mengangkat tema “Urgensi Pelaksanaan 3 SIPA terkait Optimalisasi Peran Apoteker” seminar yang diselenggarakan pada Minggu (15/10) di Hotel Grand Tjokro tersebut menghadirkan beberapa pembicara ahli di bidang kefarmasian. Beberapa narasumber yang dihadirkan, yakni Drs. Nurul Falah Eddy Pariang, Apt. (Ketua Ikatan Apoteker Indonesia), Drs. Heru Sunaryo, Apt. (Direktorat Pelayanan Kefarmasian, Kementerian Kesehatan RI), dan Novi Dwi R., M.Sc., Apt.
Heru sebagai panelis sesi pertama dalam seminar tersebut memaparkan materinya berjudul “Pengawasan Implementasi PERMENKES Nomor 31 TAHUN 2016.” Ia menjelaskan perubahan yang terjadi pada PMK 31/2016. Nomenklatur yang berbunyi SURAT IZIN KERJA dalam PMK No. 889/2011, harus dibaca dan dimaknai sebagai SURAT IZIN PRAKTIK. Selain itu, PMK 31/2016 mengubah Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 PMK No. 889/2011. Surat Izin Praktik harus dimiliki setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Ada dua jenis surat izin kerja bagi apoteker, Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) bagi apoteker dan Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian (SIPTTK) bagi tenaga medis kefarmasian.
Menurut penjelasan Heru, SIPA bagi apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan untuk satu tempat fasilitas kefarmasian. Dikecualikan dari ketentuan tersebut, SIPA bagi apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan untuk paling banyak tiga tempat fasilitas pelayanan kefarmasian. Ia menambahkan, apoteker ketika telah memiliki Surat Izin Apotek maka apoteker yang bersangkutan hanya dapat memiliki dua SIPA pada fasilitas pelayanan kefarmasian lain.
“Sementara itu, SIPTTK dapat diberikan untuk paling banyak tiga tempat fasilitas kefarmasian,”jelas Heru.
Heru menambahkan saat ini Kemenkes melakukan pembinaan dan pengawasan terkait implementasi PMK 31/2016 yang bertujuan untuk melindungi pasien dan masyarakat dalam pelaksanaan pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh tenaga kefarmasian. Selain pembinaan dan pengawasan juga bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan juga bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat, dan tenaga kefarmasian,” jelas Heru.
Sementara itu, Nurul Falah menyoroti tanggung jawab apoteker yang memiliki SIPA lebih dari satu. Menurutnya, berapa pun SIPA yang dimiliki, apoteker harus bertanggung jawab atas tugas-tugas kefarmasian yang menjadi kewajibannya sesuai aturan yang berlaku. Menurut Nurul, seharusnya apoteker melakukan pelayanannya dengan prinsip explain dan discribe. Memberikan informasi tentang sediaan obat, menjelaskan tentang cara penggunaan obat, efek samping, dan berbagai informasi penting lainnya.
“Mau berapa pun SIPA yang dimiliki, apoteker wajib praktik dengan bertanggung jawab,” jelas Nurul.
Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama dan Alumni, Dr. R.R. Endang Lukitaningsih, M.Si, Apt., yang turut hadir pada acara tersebut sepakat dengan pendapat Nurul. Menurutnya, kehadiran apoteker sangat dibutuhkan pasien di tempat pelayanan kefarmasian.
“Kehadiran apoteker dapat menghindari penyalahgunaan obat, dan ketidaktepatan pemberian obat kepada pasien,” tegas Endang.
Ia berharap dengan adanya seminar ini dapat memberi pengetahuan kepada apoteker dan calon apoteker bagaimana melakukan praktik kefarmasian yang baik dan mengetahui kekurangan dan kelebihan memiliki SIPA lebih dari satu. (Humas UGM/Catur)