Pada tiga bulan pertama di tahun 2020, dunia dihebohkan dengan munculnya virus baru yang menyebabkan gangguan saluran pernafasan (pneumonia) yang awalnya dilaporkan oleh Pemerintah China kepada WHO pada 31 Desember 2019. Kematian akibat virus tersebut pertama kali dilaporkan di Wuhan China pada tanggal 9 Januari 2020. Virus tersebut kemudian diketahui sebagai strain baru dari keluarga coronavirus, yang saat ini diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), dan penyakit yang disebabkannya disebut Coronavirus Disease (COVID-19). Selanjutnya virus tersebut menyebar sangat cepat sampai mencapai lebih dari 150 negara, hingga pada tgl 11 Maret 2020 lalu, WHO menyatakan bahwa kejadian penyakit COVID-19 akibat virus SARS-CoV-2 adalah sebagai suatu pandemik. Pandemi adalah kejadian epidemi yang terjadi secara global dan terjadi pada banyak negara.
Di Indonesia, kasus COVID-19 yang pertama kali dilaporkan pada tanggal 2 Maret 2020 dari Depok Jakarta, pada 2 orang wanita berusia 64 dan 31 tahun. Sampai tanggal 21 Maret 2020, telah terkonfirmasi 450 kasus positif COVID-19. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun daerah untuk mencegah penyebaran lebih luas, maupun mengatasi yang sudah terlanjur terinfeksi virus SARS-CoV-2 ini. Antara lain, Presiden Jokowi pada tanggal 20 Maret 2020 mengumumkan bahwa Pemerintah telah memesan sejumlah obat yaitu Avigan dan klorokuin, yang dipesan dalam jumlah besar untuk mengatasi COVID-19 di Indonesia. Seperti apa sebenarnya terapi untuk COVID-19? Dan apa itu Avigan dan Klorokuin ?
Sampai saat ini, belum ada terapi yang pasti dan direkomendasikan untuk COVID-19, karena memang penyakitnya masih baru. Karena COVID-19 disebabkan karena infeksi virus, maka terapi kuratif untuk COVID-19 adalah menggunakan antivirus. Namun demikian, semua antivirus yang digunakan dalam terapi COVID-19 di hampir semua negara masih berupa trial and error. Beberapa di antaranya mengacu pada terapi antivirus yang digunakan pada saat terjadi epidemi SARS dan MERS beberapa tahun yang lalu, misalnya menggunakan lopinavir, ritonavir, ribavirin, oseltamivir, dll. Obat-obat ini pernah digunakan dan cukup efektif mengatasi SARS dan MERS pada saat epidemi yang lalu. Demikian pula di Indonesia, belum ada panduan yang pasti di dalam mengatasi COVID-19, dan hanya mengandalkan sediaan yang ada, misalnya oseltamivir yang saat ini banyak digunakan dalam mengatasi COVID-19. Dengan telah mulai meredanya wabah COVID-19 di China, maka Indonesia mencoba mengacu pada China mengenai obat-obat yang digunakan, diantaranya adalah klorokuin dan Avigan.
Klorokuin
Klorokuin awalnya adalah obat yang digunakan untuk mengatasi penyakit malaria sebagai antiplasmodium. Obat ini merupakan obat yang mengandung gugus kuinolin yang bekerja dengan menghambat aktivitas enzim heme polymerase yang mengubah heme menjadi hemozoin, akibatnya terjadi akumulasi heme bebas. Akumulasi heme ini menyebabkan kematian pada parasit Plasmodium penyebab penyakit malaria (Slater dan Cerami, 1992). Namun dengan makin berkurangnya penyakit malaria dan munculnya resistensi plasmodium terhadap klorokuin, klorokuin tidak terlalu banyak lagi digunakan sebagai obat antimalaria.
Selain sebagai antimalaria, klorokuin juga banyak digunakan dalam terapi penyakit autoimun, seperti Lupus, Rheumatoid artritis, dll. Sebagai obat pada penyakit autoimun, klorokuin yang bersifat basa bekerja dengan cara menembus ke dalam sel dan terkonsentrasi di dalam rongga sitoplasma yang bersifat asam. Hal ini menyebabkan kenaikan pH di dalam vesikel pada sel makrofag atau sel penyaji antigen (antigen presenting cells) lainnya yang mempengaruhi respon imun terhadap antigen, sehingga berperan sebagai imunosupresan (Fox, 1996). Klorokuin juga diketahui dapat menekan sintesis TNF-alfa dan IL-6 pada sel monosit (Jang et al, 2006), sehingga banyak digunakan sebagai obat untuk rematoid artritis.
Ternyata klorokuin (dan hidroksiklorokuin) juga dapat digunakan juga untuk terapi antiviral. Vincent dkk (2005) melaporkan bahwa klorokuin memiliki efek antiviral yang kuat terhadap virus SARS-CoV pada sel primata. Efek penghambatan ini teramati ketika sel diperlakukan dengan klorokuin baik sebelum maupun sesudah paparan virus, yang menunjukkan bahwa klorokuin memiliki efek pencegahan maupun efek terapi. Selain yang sudah diketahui bahwa klorokuin meningkatkan pH endosomal yang menghambat replikasi virus (Al Bari, 2017), obat ini nampaknya berinteraksi dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) selular. Hal ini menyebabkan penghambatan terhadap ikatan virus dengan reseptor, sehingga dapat mencegah infeksi maupun penyebaran virus SARS-CoV pada konsentrasi yang dapat menyebabkan gejala klinis. Pada pandemik SARS-CoV2 di China, klorokuin telah digunakan dengan dosis 500 mg untuk dewasa, 2 kali sehari, lama terapi ≤10 hari (Du dan Qu, 2020). Klorokuin (dan hidroksiklorokuin) saat ini juga sedang dicoba di Malaysia dengan dosis yang sama dengan yang digunakan di China.
Avigan (favipiravir)
Avigan adalah nama paten dari favipiravir, yang juga dikenal sebagai T-705, suatu obat antivirus yang dikembangkan oleh Toyama Chemical (kelompok Fujifilm) Jepang dengan aktivitas melawan banyak virus RNA. Obat ini merupakan turunan pyrazinecarboxamide. Dalam percobaan yang dilakukan pada hewan, Favipiravir menunjukkan aktivitas melawan virus influenza, virus West Nile, virus demam kuning, virus penyakit kaki-dan-mulut, serta virus flavivirus, arenavirus, bunyavirus, dan alphavirus lainnya (Furuta, et al, 2017). Aktivitas melawan enterovirus dan virus demam Rift Valley juga telah dibuktikan. Di Jepang, obat ini awalnya dikembangkan sebagai obat flu. Pada Februari 2020, Favipiravir digunakan di Cina untuk percobaan pengobatan penyakit COVID-19 (novel coronavirus) yang muncul.
Pada 17 Maret 2020, pejabat Cina menyatakan bahwa obat itu efektif dalam mengobati COVID di Wuhan dan Shenzhen. Dilaporkan bahwa pasien yang diberi Avigan di Shenzen menjadi negatif terhadap virus SARS-CoV2 setelah 4 hari, dibandingkan yang tidak menggunakan obat tersebut yang memerlukan waktu 11 hari untuk menjadi negatif virus corona. Pemeriksaan menggunakan X-ray juga menunjukkan perbaikan paru yang signifikan pada 91 % pasien yang menggunakan favipiravir, dibandingkan hanya 62% pada pasien yang tidak menggunakan obat tersebut. Dokter di Jepang juga sudah menggunakan obat tersbeut untuk COVID-19. Namun demikian, pihak Kementrian Kesehatan Jepang menyatakan bahwa obat tersebut nampaknya kurang efektif untuk mereka yang gejalanya lebih berat. Mereka telah menggunakan obat tersebut pada 70-80 pasien, tetapi nampaknya kurang berefek ketika virus telah bermultiplikasi cukup banyak. Saat ini Avigan masih menunggu persetujuan dari Pemerintah Jepang untuk resmi menjadi obat COVID-19.
Mekanisme aksi favipiravir adalah dengan penghambatan selektif RNA polimerase virus sehingga menghambat sintesis RNA virus (Shiraki dan Daikaku, 2020). Penelitian lain menunjukkan bahwa favipiravir menginduksi mutasi transversi RNA yang mematikan, menghasilkan fenotipe virus yang tidak dapat hidup. Favipiravir merupakan prodrug yang dimetabolisme Human hypoxanthine guanine phosphoribosyltransferase (HGPRT) menjadi bentuk aktifnya, yaitu favipiravir-ribofuranosyl-5′-trifosfat (favipiravir-RTP). Obat ini tersedia dalam formulasi oral dan intravena. Favipiravir tidak menghambat sintesis RNA atau DNA dalam sel mamalia dan tidak toksik bagi mereka. Pada tahun 2014, favipiravir disetujui di Jepang sebagai obat cadangan menghadapi pandemi influenza dan untuk mengobati jenis virus yang tidak responsif terhadap antivirus saat itu. Saat pandemik COVID-19 ini, pada sebuah uji klinik terbatas dengan jumlah subyek 80 orang, favopiravir menunjukkan potensi antiviral tehadap SARS-CoV2 yang lebih baik daripada lopinavir/ritonavir (Dong et al, 2020). Pada bulan Maret 2020, Pemerintah China menyatakan bahwa favipiravir nampaknya efektif untuk mengatasi COVID-19.
Demikian ulasan tentang obat Klorokuin dan Avigan (Favipiravir) yang saat ini akan dicoba untuk mengatasi pasien COVID-19 di Indonesia. Kita berharap bahwa obat tersebut juga akan efektif mengatasi COVID-19 di Indonesia.
Penulis : Prof. Dra. apt. Zullies Ikawati, PhD (Guru Besar Farmasi UGM, Ketua Program Studi Magister Farmasi Klinik, Farmasi UGM)
Referensi:
Al-Bari M, 2017, Targeting endosomal acidification by chloroquine analogs as a promising strategy for the treatment of emerging viral diseases, Pharma Res Per, 5(1), 2017, e00293, doi:10.1002/prp2.293
Dong, L; Hu, S; Gao, J, 2020, Discovering drugs to treat coronavirus disease 2019 (COVID-19), Drug discoveries & therapeutics. 14 (1): 58–60. doi:10.5582/ddt.2020.01012. PMID 32147628.
Du X dan Qu C, 2020, Guidance for Corona Virus Disease 2019: Prevention, Control, Diagnosis and Management, People’s Medical Publishing House, China
Fox R, 1996, Anti-malarial drugs: possible mechanisms of action in autoimmune disease and prospects for drug development, Lupus. 1996 Jun; 5 Suppl 1:S4-10.
Furuta Y, Komeno T, Nakamura T, 2017, Favipiravir (T-705), a Broad Spectrum Inhibitor of Viral RNA Polymerase, Proc Jpn Acad Ser B Phys Biol Sci, 93 (7), 449-463
Jang CH, Choi JH, Byun MS, Jue DM, 2006, Chloroquine inhibits production of TNF-α, IL-1β and IL-6 from lipopolysaccharide-stimulated human monocytes/macrophages by different modes, Rheumatology, Volume 45, Issue 6, June 2006, Pages 703–710
K. Shiraki and T. Daikoku, Favipiravir, an anti-influenza drug against life-threatening RNA virus infections, Pharmacology &Therapeutics, https://doi.org/10.1016/j.pharmthera.2020.107512
Slater AF, Cerami A., 1992, Inhibition by chloroquine of a novel haem polymerase enzyme activity in malaria trophozoites, Nature. 1992 Jan 9;355(6356):167-9.
Vincent MJ, Bergeron E, Benjannet S, Erickson BR, Rollin PE, Ksiazek TG, Seidah NG, Nichol ST. , 2006, Virol J. 2005 Aug 22;2:69.