Farmasi UGM. Wabah Covid-19 telah menyebar ke segala penjuru dunia. Dari catatan www.worldometers.info/coronavirus/ yang diakses pada tanggal 15 April 2020 pukul 12.00 WIB, tercatat sudah mencapai 2 juta orang terinfeksi virus SARS-CoV-2 yang merupakan penyebab Covid-19. Lebih dari 126 ribu (6,17%) di antaranya meninggal dunia. Virus ini juga telah tersebar di 210 negara dan teritori. Sementara di Indonesia, dari data yang diumumkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, jumlah yang terinfeksi per tanggal 14 April 2020 pukul 12.00 WIB mencapai 4.839 Kasus, sementara 459 orang meninggal dunia.
Covid-19 merupakan penyakit yang masih relatif baru. Virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab Covid-19 sendiri baru muncul pertama kali di kota Wuhan, China pada Desember 2019 yang lalu. Belum banyak informasi dan penelitian mengenai penyakit ini. Bahkan obat maupun vaksinnya pun belum ditemukan. Sementara penyebarannya kian massif dan menimbulkan kepanikan di mana-mana. Hal inilah yang terkadang membuat masyarakat sering kali bertindak sendiri-sendiri tanpa dasar informasi yang tepat.
Mengenal Covid-19
COVID-19 merupakan kependekan dari COrona VIrus Diseases 2019, penyakit menular yang disebabkan oleh salah satu jenis coronavirus yaitu SARS-COV-2. Mengutip penelitian dari Kahn, dkk (2005), virus corona pada manusia pertama kali diidentifkasi pada tahun 1965 ketika Tyrrell dan Bynoe menemukan sebuah virus yang diberi nama B814 yang menyebabkan sebagian besar infeksi saluran pernafasan atas pada anak-anak.
Kemudian, sejak tahun 2003, setidaknya terdapat 5 jenis virus corona baru pada manusia yang berhasil diidentifikasi. Termasuk virus corona yang menyebabkan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Sedangkan virus corona penyebab Middle East Respiratory Syndrome (MERS) ditemukan pada tahun 2012 oleh seorang ahli virus dari Rumah Sakit Dr. Soliman Fakeeh di Jeddah, Arab Saudi, yang bernama Dr. Ali Mohamed Zaki (Zaki, et.al., 2012). Jadi, sebenarnya virus corona ini sudah ada sejak lama. Namun virus corona ini terus melakukan mutasi menjadi lebih kuat dan lebih infeksius seperti yang kita kenal sekarang ini.
Hingga saat ini terdapat tujuh tipe virus corona yang dapat menginfeksi manusia saat ini yaitu dua alphacoronavirus (229E dan NL63) dan empat betacoronavirus, yakni OC43, HKU1, Middle East respiratory syndrome-associated coronavirus (MERS-CoV), dan severe acute respiratory syndrome-associated coronavirus (SARSCoV). Yang ketujuh adalah virus corona tipe baru yang menjadi penyebab kejadian luar biasa di Wuhan, yakni SARS-CoV-2. Isolat 229E dan OC43 ditemukan sekitar 50 tahun yang lalu. NL63 dan HKU1 diidentifikasi mengikuti kejadian luar biasa SARS. Sedangkan NL63 dikaitkan dengan penyakit akut laringotrakeitis (croup).
Virus corona merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen. Virus ini tergolong dalam ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronaviridae dibagi dua subkeluarga dibedakan berdasarkan serotipe dan karakteristik genom. Terdapat empat genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus, deltacoronavirus dan gammacoronavirus (Wang, 2020).
Fatality Rate, Tingkat Penularan (Ro), dan Masa Inkubasi
Pada 10 Januari 2020, sekuensing pertama genom SARS-CoV-2 teridentifikasi dengan 5 subsekuens dari sekuens genom virus yang dirilis. Sekuens genom dari Coronavirus baru (SARS-CoV-2) diketahui hampir mirip dengan SARS-CoV dan MERS-CoV. Secara pohon evolusi juga sama dengan SARS-CoV dan MERS-CoV tetapi tidak tepat sama persis. Nah, dari genome sekuens ini bisa dilihat bagaimana tingkat/derajat penularannya, tingkat keganasannya, target/tempat aksinya, dan lain sebagainya. Ternyata virus ini jauh diketahui lebih mudah menular dan jauh lebih berbahaya dibanding dengan virus influenza biasa.
Apabila dilihat dari Fatality Rate, virus SARS-CoV-2 ini sebenarnya jauh lebih “ramah” dibanding dengan virus penyebab SARS atau MERS. Dikutip dari Reuters, untuk MERS, dari 50 orang yang terinfeksi, 17 orang meninggal dunia. SARS, 5 orang; sedangkan COVID-19 “hanya” 1 orang.
Namun dari tingkat velosity, virus corona terbaru ini terlihat bahwa hanya perlu waktu 48 hari untuk menginfeksi 1.000 orang, dibanding dengan SARS yang memerlukan waktu 130 hari atau bahkan 2,5 tahun untuk virus MERS. Jadi, memang virus ini jauh lebih mudah menular dibanding dengan SARS maupun MERS. Hal ini terkait dengan Ro (dibaca : R naught) dari virus corona ini. Ro mendeskripsikan seberapa banyak orang-orang bisa tertular virus dari mereka yang terinfeksi. Sebagai contoh, Ro pada pandemi flu Spanyol 1918 dan wabah Ebola 2014, yakni ketika seorang individu menularkan virus kepada satu atau dua orang lainnya. Namun, sementara flu Spanyol menyebabkan pandemi, Ebola tidak terlalu menginfeksi banyak orang. Mengapa begitu? Menurut Samuel Scarpino, ahli pemodelan penyakit menular dari Northeastern University yang dikutip dari laman National Geographic, ada satu perbedaannya, Ro flu Spanyol konsisten menularkan virus dari orang ke orang, sementara Ro Ebola lebih sporadis. Superspreader Ebola bisa menginfeksi 20-30 orang lainnya. Meski banyak yang sakit dalam satu waktu, tapi mereka tidak membawa virusnya lagi ke orang lain, berhenti di satu titik. Dikutip dari Bloomberg, World Health Organization, Centers for Disease Control, King Saud University, Nature melaporkan bahwa Ro dari Covid-19 ini adalah 2,8 sedangkan flu “biasa” memiliki Ro = 1,3. Sedangkan MERS, memiliki Ro sebesar 0,8.
Ini juga yang salah atu alasan mengapa SARS dan MERS tidak ditetapkan oleh WHO sebagai bencana pandemi Global, padahal SARS dan MERS jauh lebih mematikan dibanding COVID-19.
Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah sifat dari SARS-CoV-2 ini adalah masa inkubasinya. Masa inkubasi adalah saat pasien pertama kali tertular/terpapar virus, hingga menunjukkan gejala awal. Dikutip dari Vox, berbeda dengan virus influensa biasa yang memiliki masa inkubasi sangat pendek (1 – 2 hari) sehingga apabila seseorang terkena infeksi, maka dalam waktu tidak terlalu lama kemudian timbul gejala-gejala dari infeksi tersebut. Sedangkan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 ini, menurut banyak penelitian, memiliki masa inkubasi yang cukup panjang, yaitu antara 5 – 14 hari. Pada masa ini, maka seseorang yang terkena infeksi tidak menunjukan gejala apapun (OTG = orang tanpa gejala) yang bisa menularkan virus tersebut kepada orang lain. Ini yang sangat berbahaya sehingga penyebaran virus ini menjadi kian masif.
Dari uraian tersebut di atas paling tidak ada 5 alasan, mengapa Covid-19 ini begitu “istimewa” dibanding dengan corona virus yang lain, yaitu antara lain karena :
- Tingkat penularannya (Ro)
- Masa inkubasi
- Tingkat fatality rate
- Tingkat immunity dari populasi
- Keberadaan obat dan vaksin yang hingga saat ini belum ada atau diketemukan.
Atas dasar itulah maka pada tanggal 11 Maret 2020, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai sebuah wabah (pandemi) yang berskala global.
Cara Penularan dan Penyebaran
Sesuai dengan press release yang disampaikan oleh WHO, Orang dapat tertular COVID-19 dari orang lain yang terjangkit virus ini dengan cara antara lain, :
- COVID-19 dapat menyebar dari orang ke orang melalui percikan-percikan dari hidung atau mulut yang keluar saat orang yang terjangkit COVID-19 batuk atau bersin.
- Percikan-percikan yang kemudian jatuh ke benda-benda dan permukaan-permukaan di sekitar juga bisa menularkan virus tersebut kepada orang lain. Orang yang menyentuh benda atau permukaan tersebut lalu menyentuh mata, hidung atau mulutnya, dapat terjangkit COVID-19. Peneliti menyebut virus corona bisa bertahan 5 menit hingga 5 hari ketika menempel di benda mati. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap virus corona SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndome). Virus bisa bertahan selama itu jika benda-benda tersebut tidak didisinfektan.
- Penularan COVID-19 juga dapat terjadi jika orang menghirup percikan yang keluar dari batuk atau napas orang yang terjangkit COVID-19. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga jarak minimal 1 meter dari orang yang sakit.
Agar tidak tertular virus corona ini serta meminimalkan resiko tertular maka WHO lebih lanjut menyarankan agar melakukan langkah – langkah berikut ini :
- Seringlah mencuci tangan Anda dengan air bersih mengalir dan sabun, atau cairan antiseptik berbahan dasar alkohol. Mengapa? Mencuci tangan dengan air bersih yang mengalir dan sabun, atau cairan antiseptik berbahan dasar alkohol dapat membunuh virus di tangan Anda.
- Jaga jarak setidaknya 1 meter dengan orang yang batuk-batuk atau bersin-bersin. Mengapa? Ketika batuk atau bersin, orang mengeluarkan percikan dari hidung atau mulutnya dan percikan ini dapat membawa virus. Jika Anda terlalu dekat, Anda dapat menghirup percikan ini dan juga virus COVID-19 jika orang yang batuk itu terjangkit penyakit ini.
- Hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut. Mengapa? Tangan menyentuh berbagai permukaan benda dan virus penyakit ini dapat tertempel di tangan. Tangan yang terkontaminasi dapat membawa virus ini ke mata, hidung atau mulut, yang dapat menjadi titik masuk virus ini ke tubuh Anda sehingga Anda menjadi sakit.
- Pastikan Anda dan orang-orang di sekitar Anda mengikuti etika batuk dan bersin dengan cara menutup mulut dan hidung dengan siku terlipat atau tisu saat batuk atau bersin dan segera buang tisu bekas tersebut. Mengapa? Percikan dapat menyebarkan virus. Dengan mengikuti etika batuk dan bersin, Anda melindungi orang-orang di sekitar dari virus-virus seperti batuk pilek, flu, dan COVID-19.
- Tetaplah tinggal di rumah jika merasa kurang sehat. Jika Anda demam, batuk dan kesulitan bernapas, segeralah cari pertolongan medis dan tetap memberitahukan kondisi Anda terlebih dahulu. Ikuti arahan Dinas Kesehatan setempat Anda. Mengapa? Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan daerah akan memiliki informasi terbaru tentang situasi di wilayah Anda. Dengan memberitahukan kondisi Anda terlebih dahulu, petugas kesehatan yang akan merawat Anda dapat segera mengarahkan Anda ke fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat. Langkah ini juga melindungi Anda dan membantu mencegah penyebaran virus dan infeksi lainnya.
Gejala – Gejala Terkena Infeksi Virus Corona
Berikut adalah tahapan – tahapan infeksi virus corona dalam tubuh manusia :
- Hari ke 1 – 8 merupakan masa inkubasi. Pada tahap ini orang belum merasakan gejala apa-apa. Apabila dilakukan PCR, maka barulah ketahuan jika orang tersebut sudah terjangkit virus SARS-COV-2 ini
- Hari ke 9 – 14 merupakan masa sakit (illness). Di mana pasien sudah merasakan gejala-gejala terkena virus, seperti demam, BATUK KERING, dan rasa lelah. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, sakit tenggorokan atau diare.
- Hari ke 15 – 25 merupakan masa “Hospitalization” atau masa “Kritis”. Jika infeksi berlanjut maka akan timbul gejala yang lebih berat, seperti pneumonia, sesak nafas dan sindrom pernafasan akut yang berat (ADRS = Acute Respiratory Distress Syndrome).
- Hari ke 25 Jika pasien bisa bertahan maka kemungkinan besar akan selamat. Jika tidak bisa bertahan maka akan terjadi sindroma pernafasan akut, gagal ginjal yang kemudian diikuti dengan kematian.
Sekilas gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat virus corona ini mirip dengan gejala akibat infeksi virus flu biasa, yaitu demam, sakit kepala, batuk, lelah, dan sebagainya. Namun demikian, paling tidak ada 2 gejala (indikasi) klinis yang khas, yang tidak dimiliki oleh orang yang terinfeksi virus corona, yaitu :
- BATUK KERING. Salah satu “target” dari Virus ini adalah tenggorokan. Yang kemudian dimanifestasikan dengan RIAK atau sputum. Nah bedanya dengan flu biasa, riak yang dihasilkan oleh virus COVID-19, riaknya SANGAT LENGKET. Sehingga memicu si pasien untuk batuk. Namun karena lengket, maka batuknya adalah batuk kering.
- Hilangnya indera pengecap dan pencium. Ini adalah salah satu “ciri khas” dari gejala COVID-19. Para ahli masih belum tahu bagaimana mekanisme dari gejala yang satu ini.
Itulah gejala-gejala awal dari serangan covid-19 yang terkadang banyak orang tidak menyadari dan menganggap seperti flu biasa. Sehingga kalau tidak segera ditangani atau sistem immunenya tidak kuat, maka akan berlanjut ke fase berikutnya, yaitu timbulnya gejala PNEUMONIA yang kalo orang awam lhat adalah SESAK NAFAS. Jika serangan sesak nafas ini berlanjut, maka bisa mengarah ke , ADRS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Pada tahapan ini si pasien HARUS mendapat perawatan dan pertolongan di Rumah Sakit karena memerlukan bantuan pernafasan ventilator. Jika masih berlanjut, bisa mengarah pada kerusakan ginjal dan akhirnya kematian.
Sekitar 70 – 80% orang yang terkena infeksi virus corona hanya menunjukan gejala (symptoms) yang ringan – sedang. Mereka ini bisa pulih tanpa perlu perawatan khusus. Sementara 20 – 30% dari orang yang terinfeksi harus menjalani perawatan di Rumah Sakit karena memerlukan perawatan dan peralatan yang lebih memadai. Dan hanya sekitar 3% dari pasien yang terkena virus corona ini yang mengalami efek yang fatal dan menyebabkan kematian.
Faktor-faktor Resiko
Seorang pakar penyakit menular dari Johns Hopkins Center Dr Amesh A. Adalja, MD mengatakan bahwa virus Corona tidak memandang usia, namun demikian ada beberapa kelompok yang lebih rentan terhadap penyakit menular ini, yaitu :
- LANSIA (orang lanjut usia).
- Orang yang memiliki riwayat penyakit tertentu (comorbid), seperti : gangguan darah, penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis, masalah sistem kekebalan tubuh misalnya, menjalani perawatan kanker seperti kemoterapi atau radiasi, setelah menerima transplantasi organ atau sumsum tulang, atau mengambil kortikosteroid dosis tinggi atau obat penekan kekebalan lainnya, dan HIV atau AIDS; gangguan endokrin seperti diabetes; Gangguan metabolisme; Penyakit jantung; Penyakit paru-paru, termasuk asma; Kondisi neurologis dan neurologis dan perkembangan saraf (iNews, 15 April 2020)
Orang yang tinggal di atau mengunjungi wilayah-wilayah juga lebih berisiko untuk tertular virus COVID-19.
Tingkat Immune dan derajat keparahan Akibat Infeksi Virus Corona
He, dkk (2020) dalam jurnal Journal of Clinical Virology yang dipublikasikan pada tanggal 12 April 2020 menyebutkan bahwa dari hasil pengujian yang dilakukan terhadap 204 pasien yang positif terinfeksi virus SARS-CoV-2, ditemukan 69 pasien yang dalam kondisi yang berat (parah), serta 135 pasien dengan symptom ringan. Dari penelitian yang diberi judul “The clinical course and its correlated immune status in COVID-19 pneumonia” itu menemukan hal-hal yang menarik, sebagai berikut :
Status imun seseorang sangat berpengaruh terhadap dampak/gejala serta keparahan yang ditimbulkan akibat infeksi virus corona SARS-CoV-2 ini
- Penurunan kadar T-lymphocyte sangat berkorelasi terhadap lamanya masa pengobatan pasien Covid-19
- Kadar dapat digunakan sebagai indikasi untuk memperkirakan tingkat keparahan dan prognosis pasien akibat infeksi dari virus SARS-CoV-2
- Peningkatan kadaar T-lymphocyte mungkin merupakan terapi potensial strategi untuk pasien parah dengan pneumonia COVID-19
Sebuah penelitian di Australia dalam jurnal Nature Medicine menyimpulkan, sistem imun yang sehat sangat mungkin untuk mengalahkan SARS-CoV-2. Dalam riset ini, peneliti melakukan analisis terhadap sampel darah seorang pasien wanita berumur 47 tahun yang positif Covid-19 dengan gejala sedang-ringan, yang memiliki riwayat perjalanan dari Wuhan ke Melbourne. Peneliti tersebut menemukan bahwa selama hari 7-9 di mana sang pasien telah menunjukkan gejala, ada peningkatan imunoglobulin G (IgG) dari sistem imun, yang melawan virus corona. Ada pula peningkatan pada imunoglobulin M (IgM) dari pasien. Peningkatan imunoglobulin pasien tersebut terus terjadi selama hingga 20 hari setelah gejala terjadi. Tak sampai di situ, dalam sampel darah hari ke-7 dan 9 tersebut juga terdapat sel imun yang aktif, seperti sel T helper, sel T killer, dan sel B. Sang pasien kemudian diizinkan untuk menjalani isolasi mandiri di rumah pada hari ke-11. Gejala yang ia tunjukkan pun hilang pada hari ke-13 dan tetap sehat pada hari ke-20, selama masa pengawasan dan penelitian.
Sementara itu The Conversation dalam tulisannya pada tanggal 19 Maret 2020 menyebutkan bahwa kadar B-Cell dan T-Cell sangat berpengaruh terhadap jumlah kematian yang didominasi oleh pasien yang berusia 60 tahun lebih. Ketika seseorang terinfeksi virus SARS-CoV-2, terjadi “perlombaan” penyebaran patogen tersebut dengan seberapa cepat respons imun orang tersebut bereaksi tanpa menyebabkan terlalu banyak kerusakan kolateral. Seiring bertambahnya usia, respons imun bawaan (innate immune) dan imun adaptif (adaptive immune) seseorang berubah. Inilah yang pada akhirnya menentukan tingkat keparahan seseorang yang terkena infeksi Covid-19 ini. Pada saat pandemi yang demikian cepat menyebar sekarang ini, serta belum adanya vaksin maupun obat yang benar-benar bisa diandalkan untuk mengatasi Covid-19, maka satu-satunya pertahanan tubuh dalam menghadapi keganasan virus adalah seberapa tinggi tingkat imun seseorang. Semakin tinggi tingkat imun, maka tingkat keparahan sebagai dampak dari infeksi virus corona ini semakin rendah. Sebaliknya, semakin menurun tingkat imun seseorang, maka tingkat keparahannya pun semakin meningkat bahkan bisa berakibat fatal (kematian),
Hal ini juga terlihat dari data bahwa 80 – 90% kematian akibat infeksi virus corona ini dialami oleh orang-orang yang memang memiliki berbagai penyakit penyerta (comorbid) seperti gangguan darah, penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis, masalah sistem kekebalan tubuh, gangguan endokrin (diabetes), gangguan metabolisme, penyakit jantung, penyakit paru-paru (termasuk asma) dan lain – lain. Mereka – mereka ini lah yang sangat rentan terhadap infeksi virus corona ini dan dapat berakibat fatal.
Yang menjadi permasalahan adalah terkadang masyarakat tidak menyadari bahwa mereka ini memiliki faktor-faktor resiko tersebut. Sistem kesehatan di Indonesia yang boleh dikatakan belum terlalu baik, menyebabkan orang – orang dengan faktor resiko tersebut tidak terpantau dengan baik.
Nah, bagaimana upaya agar dampak infeksi virus corona ini dapat di minimalisir?
Tentu, satu-satunya jawaban adalah menghindari agar jangan sampai terkena infeksi atau penyebaran dari virus corona tersebut. Sebut saja, dengan berdiam diri di rumah, menjaga jarak dari orang lain, hingga rajin mencuci tangan. Pemerintah dalam hal ini juga sudah bertindak dengan tepat, yaitu sebisa mungkin untuk mengurangi interaksi orang dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berdampak Besar (PSBB) yang diberlakukan di sejumlah wilayah yang masuk dalam kategori zona merah.
Namun demikian, ada baiknya pula masyarakat mempersiapkan diri apabila suatu ketika pada akhirnya terkena infeksi virus corona ini dan berupaya agar – jikakalau pun – terinfeksi, dampak yang ditimbulkannya pun tidak terlalu berat sehingga bisa dirawat dan diobati sendiri, karena tidak membutuhkan perawatan dan peralatan di Rumah Sakit.
Herbal dan Suplemen Makanan Peningkat Sistem Imun
Selain langkah pencegahan utama seperti yang disebutkan tadi, satu hal lagi yang krusial untuk dilakukan adalah menjaga sistem imun atau daya tahan tubuh agar tetap sehat. Mengukur imun sehat atau tidak pun tentu sulit dilakukan. Yang terpenting adalah sebisa mungkin menghindari paparan virus tersebut, serta menjaga imun tubuh tetap sehat dan fit.
Ada banyak cara untuk meningkatkan sistem imun dalam tubuh. Beberapa upaya untuk meningkatkan imun antara lain adalah istirahat (tidur) yang cukup, rajin berolah raga, mengurangi stres, berjemur di bawah sinar matahari serta menjauhi makanan yang mengandung lemak jahat. Sistem imun dapat juga ditingkatkan dengan konsumsi berbagai macam herbal dan suplemen makanan yang sudah kita kenal baik untuk meningkatkan sistem imun.
Di antara suplemen makanan yang bisa digunakan untuk meningkatkan sistem imun serta mengurangi tingkat keparahan akibat infeksi virus corona tersebut antara lain adalah vitamin C, vitamin E, dan zinc (Zn). Sedangkan herbal yang dapat membantu meningkatkan kekebalan tubuh (sistem imun), antara lain adalah Echinaceae, kurkumin dan madu.
Vitamin C
Vitamin C sudah lama dikenal sangat perperan dalam pembentukan B-CELL dan T-CELL. Dengan asupan vitamin C yang cukup maka sumsum tulang belakang sebagai “pabrik pembuat”-nya bisa dipacu untuk memproduksi B-CELL dan T-CELL yang cukup agar bisa melawan virus jahat ini. Selain itu secara klinis Vitamin C juga mencegah terjadinya inflamasi. Kekurangan vitamin C mengakibatkan gangguan imunitas dan kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi.
Carr dan Maggini, (2017) menyebutkan bahwa Vitamin C merupakan mikronutrien penting bagi manusia, dengan fungsi pleiotropik terkait dengan kemampuannya untuk menyumbangkan elektron. Vitamin C juga merupakan antioksidan yang sangat kuat dan merupakan co-factor untuk biosintesis dan enzim pengatur gen. Vitamin C berkontribusi untuk pertahanan kekebalan dengan mendukung berbagai fungsi seluler, baik sistem kekebalan tubuh bawaan (innate immune) dan kekebalan adaptif (adaptive immune). Vitamin C mendukung fungsi penghalang epitel terhadap patogen dan mempromosikan aktivitas pemulungan oksidan kulit, sehingga berpotensi melindungi terhadap stres oksidatif lingkungan. Vitamin C terakumulasi dalam sel fagosit, seperti neutrofil, dan dapat meningkatkan kemotaksis, fagositosis, generasi spesies oksigen reaktif, dan akhirnya membunuh mikroba. Hal ini juga diperlukan untuk apoptosis dan pembersihan neutrofil bekas dari tempat infeksi oleh makrofag, sehingga mengurangi nekrosis (NETosis) dan kerusakan jaringan yang potensial. Peran vitamin C dalam limfosit kurang jelas, tetapi telah terbukti meningkatkan diferensiasi dan proliferasi sel B dan sel T, kemungkinan karena efek pengatur gennya. Kekurangan vitamin C mengakibatkan gangguan imunitas dan kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi. Selain itu, suplementasi dengan vitamin C juga dapat mencegah dan mengobati infeksi pernapasan dan sistemik. Pencegahan infeksi profilaksis memerlukan asupan vitamin C dalam jumlah yang memadai, setidaknya kadar plasma jenuh (yaitu, 100-200 mg/hari), yang mengoptimalkan tingkat sel dan jaringan. Sebaliknya, pengobatan infeksi yang sudah ada memerlukan dosis vitamin yang jauh lebih tinggi untuk mengimbangi peningkatan respons peradangan dan kebutuhan metabolisme.
Vitamin E
Vitamin E juga sangat berperan penting dalam sistem imunitas (kekebalan) tubuh, terutama dalam proses pematangan T-CELL di Thymus. Kekurangan Vitamin E bisa menyebabkan penurunan kualitas dari T-CELL atau dengan kata lain menurunkan “kesaktian” T-CELL dalam berperang melawan COVID-19.
Manfaat vitamin E terhadap sistem kekebalan tubuh hewan dan manusia, dipublikasikan dalam jurnal Nutriens dengan judul The Role of Vitamin E in Immunity, menyebutkan bahwa Vitamin E telah terbukti meningkatkan respon kekebalan pada model hewan dan manusia dan untuk memberikan perlindungan terhadap beberapa penyakit menular. Mekanisme peningkatan respon tersebut antara lain adalah pengurangan produksi PGE2 oleh penghambatan aktivitas COX2 yang dimediasi melalui penurunan produksi NO, peningkatan pembentukan sinaps imun yang efektif dalam T-cell yang naif dan inisiasi sinyal aktivasi T-cell, dan modulasi keseimbangan Th1 / Th2. Aktivitas NK yang lebih tinggi dan perubahan fungsi dendritik seperti produksi IL-12 yang lebih rendah juga diamati dengan adanya vitamin E, tetapi mekanisme yang mendasarinya perlu dijelaskan lebih lanjut.
Zinc (Zn)
Zink memegang peranan penting terhadap fungsi timus. Timus merupakan organ tempat pematangan sel T. Mineral ini berperan sebagai kofaktor esensial terhadap hormon timulin (ZnFTS) yang dihasilkan timus melalui sel epitel timus. Zat ini berperan tidak hanya pada proses diferensiasi sel T yang belum matang, tetapi juga mengatur pelepasan sitokin oleh sel mononuklear perifer dalam darah, merangsang pembentukan sel T CD8, bersama dengan interleukin 2 (IL-2),serta menjaga aktifitas reseptor untuk IL-2 pada sel T yang matang (Yan, et.al., 2017)
Ketiga Vitamin dan mineral ini adalah KOMPONEN utama dalam membangun sistem pertahanan tubuh kita dalam menghadapi serbuan virus corona. Istilahnya adalah “pertahanan lapis pertama” dalam pertempuran melawan COVID-19
Echinaceae
Echinacea adalah sejenis tanaman herbal yang dipercaya dapat meningkatkan imunitas tubuh. Penggunaan tanaman bernama lain Purple Coneflower sebagai pengobatan pilek ini sudah disetujui WHO sejak 1999. Echinacea dapat menurunkan durasi sakit dan menurunkan keparahan batuk, sakit kepala, dan sumbatan hidung. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal the Lancet Infectious Disease juga melaporkan bahwa konsumsi suplemen herbal Echinacea dapat mengurangi risiko terkena pilek hingga 58 persen dan mengurangi durasi penyakit pilek selama sehari atau setengah hari. Mekanisme kerja Echinacea terutama adalah meningkatkan mobilitas leukosit serta mengaktifkan NK-cell (Shah, et.al., 2007)
Ada issue bahwa Echinacea bisa menyebabkan “badai sitokin” (Cytokine Storm). Apakah benar demikian?
Badai sitokin adalah kondisi saat sistem imun tubuh melawan virus dan ini biasanya terjadi saat adanya infeksi berat atau sepsis. Jadi, jika ada virus yang masuk ke dalam organ paru di tubuh, maka reaksi yang timbul adalah keluarnya sitokin-sitokin. Untuk diketahui, sitokin adalah protein yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melakukan berbagai fungsi dan penting dalam penanda sinyal sel.
Pelepasan atau keluarnya sitokin ini dapat mempengaruhi perilaku sel di sekitarnya. Sitokin yang keluar dalam jumlah sedikit tidak memiliki pengaruh pada kondisi paru pasien, atau keadaan parunya tidak bermasalah. Akan tetapi kalau jumlah sitokin yang dikeluarkan di paru sudah banyak, disebut sebagai badai sitokin, maka itu akan membuat paru sangat padat dan kaku. Itulah yang membuat pasien muncul symptom sesak, susah bernapas, dan itu yang bisa menyebabkan pasien tersebut meninggal dunia. Echinacea justru berperan untuk menghambat pembentukan IL-6, sehingga jumlah sitokin pro-inflamasi dapat dikurangi. Pengurangan jumlah IL-6 tsb diperlukan guna menekan risiko terjadinya komplikasi pada infeksi tsb. Apabila jumlah sitokin pro-inflamasi tidak dibatasi maka komplikasi yang terjadi dapat berupa badai sitokin yang dapat berakibat fatal (Hudson, 2012).
Badai sitokin ini yang sering kali menjadi penyebab pasien Covid-19 berakhir dengan kematian.
Kurkumin
Sesuai dengan hasil riset Bioinformatika yang dirilis Maret 2020 menggunakan metode pemodelan bioinformatika (moleculer docking), curcumin mampu berikatan dengan reseptor protein SARS-CoV 2 yaitu melalui ikatan dengan domain protease (6Lu7) dan spike glikoprotein. Ikatan ini berpotensi untuk menghambat aktivitas Covid-19.
Selain itu curcumin diketahui menghambat pelepasan senyawa tubuh penyebab peradangan atau sitokin proinflamasi seperti interleukin-1, interleukin-6 dan tumor necrosis factor-α. Pelepasan sitokin dalam jumlah banyak, disebut badai sitokin yang dapat menumpuk pada organ paru-paru kemudian menimbulkan sesak. Dengan terhambatnya pengeluaran sitokin, maka tidak akan terjadi badai sitokin yang berdampak pada gangguan pernafasan. Mekanisme ini menjelaskan peran curcumin dalam mencegah terjadinya badai sitokin pada infeksi virus (Sordillo and Helson, 2015).
Curcumin juga memiliki efek menghambat proses pertumbuhan virus, baik secara langsung dengan cara merusak fisik virus maupun melalui penekanan jalur pensinyalan seluler yang penting dalam proses replikasi virus (Mathieu and Hsu, 2018).
Pada pertengahan Maret lalu, melalui akun media sosial Instagram, seorang ilmuwan dari Fakultas Biologi Intitut Teknologi Bandung menyatakan bahwa berdasarkan kajian dari artikel yang terbit di sebuah jurnal ilmiah, konsumsi kunyit dan temulawak akan meningkatkan suseptibilitas tubuh terhadap Covid-19. Curcumin dalam rimpang kunyit dan temulawak disebutkan mampu meningkatkan ekspresi enzim ACE2 (Angiotensin-converting-enzyme2) yang merupakan reseptor dari Covid-19. Namun, kajian tersebut kemudian dibantah oleh yang bersangkutan.
Balitbangkes pada press release yang dikeluarkan pada tanggal 21 Maret 2020 juga menyebutkan bahwa kunyit dan temulawak akan meningkatkan suseptibilitas terhadap Covid-19 sama sekali belum berdasarkan kajian ilmiah yang menyeluruh. Penggunaan kunyit dan temulawak dalam ranah preventif untuk mencegah terjangkitnya covid-19 justru sangat relevan berdasarkan pada beberapa penelitian pra klinik dan klinik dari curcumin yang terbukti memiliki efek immunomodulator.
Madu
Madu sudah sejak lama digunakan dalam pengobatan berbagai macam penyakit, sperti penyakit mata, asma bronkial, infeksi tenggorokan, tuberkulosis, kelelahan, pusing, hepatitis, sembelit, serangan cacing,eksim, penyembuhan bisul, dan luka serta digunakan sebagai nutrisi suplemen. Bahan-bahan madu telah dilaporkan untuk memberikan efek antioksidan, antimikroba, anti-inflamasi, antiproliferatif, antikanker, dan antimetastatik. Banyak bukti menunjukkan penggunaan madu dalam kontrol dan pengobatan luka, diabetes mellitus, kanker, asma, dan juga penyakit kardiovaskular, neurologis, dan gastrointestinal.
Madu juga memiliki peran terapi potensial dalam pengobatan penyakit oleh sifat phytochemical, anti-inflamasi, antimikroba, dan antioksidan. Flavonoid dan polifenol, yang bertindak sebagai antioksidan, adalah dua molekul bioaktif utama yang terdapat dalam madu. Menurut literatur ilmiah modern, madu mungkin bermanfaat dan memiliki efek perlindungan untuk pengobatan berbagai kondisi penyakit seperti diabetes mellitus, pernapasan, pencernaan, kardiovaskular, dan sistem saraf, bahkan berguna dalam pengobatan kanker karena banyak jenis antioksidan yang hadir dalam madu (Samarghandian, Farkhondeh, and Samini, 2017).
Salah satu kandungan utama yang dimiliki oleh madu adalah karbohidrat alami. Dari The Food Nutrition Tabel, diketahui bahwa tiap 100 gram madu mengandung 308 kcal. Kandungan tersebut mampu menjadi sumber energi yang hilang dalam tubuh dengan segera. Pada saat tubuh “berperang” dengan virus jahat ini tentu membutuhkan asupan energi yang tinggi. Padahal salah satu akibat dari “serangan” virus ini menyebabkan menurunnya nafsu makan dari si pasien sehingga kondisinya semakin menurun. Madu adalah sumber energi yang bisa dengan cepat diserap oleh tubuh.
Penutup
Wabah Covid-19 masih menjadi momok yang sangat menakutkan bagi seluruh manusia di muka bumi ini. Selain menerapkan physical dan social distancing secara ketat agar bisa tidak terpapar virus, menaikan kadar imun adalah merupakan salah satu upaya agar terhindar dari dampak buruk akibat infeksi virus yang sangat mudah menyebar dan infeksius ini. Selain upaya – upaya sederhana seperti istirahat yang cukup, olah raga ringan, mengurangi stres dan menjaga pola makan, maka konsumsi vitamin, mineral dan herbal tertentu terbukti mampu menaikan kadar imunitas tubuh sehingga siap menghadapi ganasnya virus corona penyebab Covid – 19 ini.
Penulis : Drs apt Bambang Priyambodo (alumnus Fakultas Farmasi UGM, bekerja sebagai GM Manufacture PT. Air Mancur). Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Referensi
Kahn, Jeffrey S., MD, PhD, and McIntosh, Kenneth MD, History and Recent Advances in Coronavirus Discovery, The Pediatric Infectious Disease Journal, Volume 24, Number 11, November 2005
Zaki AM, van Boheemen S, Bestebroer TM, Osterhaus AD, Fouchier RA. Isolation of a novel coronavirus from a man with pneumonia in Saudi Arabia. N Engl J Med. 2012;367:1814–20.
Chen Y, Liu Q, Guo D, Emerging coronaviruses: Genome structure, replication, and pathogenesis, J Med Virol. 2020 Apr;92(4):418-423. doi: 10.1002/jmv.25681. Epub 2020 Feb 7.
He R, Lu Z, Zhang L, Fan T, Xiong R, Shen X, Feng H, Meng H, Lin W, Jiang W, Geng Q, The clinical course and its correlated immune status in COVID-19, Pneumonia, Journal of Clinical Virology (2020), doi: https://doi.org/10.1016/j.jcv.2020.104361
Thevarajan, I., Nguyen, T.H.O., Koutsakos, M. et al. Breadth of concomitant immune responses prior to patient recovery: a case report of non-severe COVID-19. Nat Med 26, 453–455 (2020). https://doi.org/10.1038/s41591-020-0819-2
Geiss, Brian, https://theconversation.com/amp/older-people-are-at-more-risk-from-covid-19-because-of-how-the-immune-system-ages-133899, access 15 April 2020.
Carr AC, Maggini S. ,Vitamin C and Immune Function. Nutrients. 2017;9(11):1211. Published 2017 Nov 3. doi:10.3390/nu9111211
Lee, Ga Young and Han, Sung Nim, Review The Role of Vitamin E in Immunity, Nutrients (2018). Published: 1 November 2018
Yan F, Mo X, Liu J, Ye S, Zeng X, Chen D. Thymic function in the regulation of T cells, and molecular mechanisms underlying the modulation of cytokines and stress signaling (Review). Mol Med Rep. 2017;16(5):7175–7184. doi:10.3892/mmr.2017.7525
Maywald, Martina, Wessels, Inga and Rink, Lothar, Review Zinc Signals and Immunity, Int. J. Mol. Sci. 2017, 18, 2222; doi:10.3390/ijms18102222
Shah, Sachin A, Sander, Stephen, White, C Michael, Rinaldi, Mike, Coleman, Craig I, Evaluation of echinacea for the prevention and treatment of the common cold: a meta-analysis, http://infection.thelancet.com Vol 7 July 2007
Hudson JB. Applications of the phytomedicine Echinacea purpurea (Purple Coneflower) in infectious diseases. J Biomed Biotechnol. 2012;2012:769896. doi:10.1155/2012/769896
Widiyastuti, Yuli, dkk, Curcumin, Aman Dikonsumsi Saat Pandemi Covid-19, Humas Litbangkes, March 21, 2020
Samarghandian S, Farkhondeh T, Samini F. Honey and Health: A Review of Recent Clinical Research. Pharmacognosy Res. 2017;9(2):121–127. doi:10.4103/0974-8490.204647