KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Dunia Farmasi menghadapi tantangan pengembangan industri, terutama dalam hal kompetensi SDM.
Fakultas Farmasi UGM sebagai institusi pendidikan turut berperan dalam pengembangan tersebut.
Dekan Fakuktas Farmasi UGM Prof. Agung Endro Nugroho., M.Si., Apt, membabar tiga strategi kompetensi baru Fakultas Farmasi UGM dalam menghadapi revolusi industri 4.0.
Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-73 Fakultas Farmasi UGM pada Rabu (2/10/2019).
Tiga kompetensi tersebut meliputi literasi manusia, literasi teknologi, dan literasi big data.
Literasi manusia, kata Agung, yaitu aspek humanitas, komunitas, kepemimpinan, bekerja dalam tim, berpikir sistematik, dan entrepreneurship.
“Sejak tahun 2017, Fakultas Farmasi melakukan pengembangan kurikulum berbasis penguatan softskill dan kompetensi,”ujar Agung.
Berikutnya ada literasi teknologi. Dalam hal ini pihaknya berfokus pada pengembangann kemampuan membaca analisis dan informasi di dunia digital.
Kemudian literasi ketiga, Fakultas Farmasi berusaha meningkatkan pelayanan akademik berbasis teknologi dan big data.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Farmalkes) Kementerian Kesehatan RI Dra. Engko Sosialine Magdalene, Apt., M.Biomed, sepakat dengan strategi yang dipaparkan Agung.
Sebab, status kesehatan masyarakat juga sudah mengalami perubahan.
Dirinya kemudian menjelaskan kondisi dunia kesehatan terkini.
“Angka harapan hidup meningkat terus sejak 2013 hingga 2018, dari 70,4 menjadi 71,2. Pembangunan kesehatan mengalami progres juga ditunjukkan dadi data indeks pembangunan manusia, 2013 sebesar 68,31 hingga di tahun 2018 naik menjadi 71,39,”vpapar Engko dalam orasi ilmiahnya.
Namun, perubahan yang menantang datang dari data beban penyakit dari tahun 1999 hingga 2017.
Dikatakan Engko, beban penyakit bergeser secara signifikan. Dari penyakit menular ke penyakit tidak menular.
“Bahkan pada 2017 beban penyakit tidak menular secara nasional mencapai 70 persen. Ini menjadi masalah prioritas yang harus ditangani segera. Stroke, jantung, dan diabetes menjadi beban penyakit tidak menular terbesar,” ungkap Engko.
Dengan adanya kebutuhan layanan kefarmasian yang cepat, industri farmasi terus ditantang.
Engko menjelaskan ada perubahan paradigma produksi dalam kefarmasian di era revolusi industri 4.0.
Pertama, dari produksi masaal menjadi flexible production.
Ia membabar paradigma itu terdiri dari tahapan prosesnya lebih sedikit dan lead time-nya lebih pendek, kebutuhan tooling dibatasi, pengurangan aset tidak bergerak, serta jumlah batch hanya perlu satu.
Kedua, dari rantai pasok global menjadi supply unchained. Seain itu ada konsolidasi multi komponen, produksi dan penggunaan on the spot, rasio tinggi antara output produksi dengan ruang yang terpakai, hingga produksi terdistribusi dan reshoring.
Engko ingin membuat terobosan dalam pelayanan kefarmasian.
Namun, Indonesia masih mengalami berbagai kendala kualitas SDM, di antaranya kurangnya tenaga kefarmasian di faskes, belum optimalnya penerapan standar pelayanan kefarmasian.
Kendala lain yaitu belum optimalnya evaluasi penggunaan obat, belum adanya kolaborasi yang baik antar tenaga kesehatan, serta masih tingginya penggunaan antibiotik yang tidak bijak.
“Lalu siapkah kita? Saat ini kita berhadapan dengan konektivitas, kecerdasan buatan, dan big data. Sementara SDM masih perlu berbenah. Ketiganya bakal menjadi ancaman jika tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya,” tandas Engko.
Apalagi di era disrupsi ini ada risiko otomatisasi terhadap kebutuhan tenaga kerja, tak terkecuali profesi apoteker.
“Dalam beberapa dekade ke depan Indonesia berisiko kehilangan 40,8 persen dari tenaga kerjanya akibat otomatisasi,” ujarnya.
Untuk itu, penting bagi apoteker untuk meningkatkan kompetensinya.
Institusi pendidikan sebagai salah satu tempat yang melahirkan SDM, diharapkan dapat bertransformasi, berkolaborasi dan berkomunikasi dalam memecahkan masalah, serta memiliki kecakapan sosial dan emosional.
Engko juga membabar kunci keberhasilan, khususnya bagi apoteker untuk menghadapi era disrupsi.
Menurut Engko, kuncinya yaitu pengembangan humanistic dan digital skills, selalu coba dan terapkan prototype teknologi baru, bangun kolaborasi baru, dan kurikulum berbasis human digital skills.
“Masyarakat, industri dan akademisi perlu berkolabirasi dalam mengidentifikasi ketersediaan SDM bagi era digital,” pungkasnya. (Kinanthi)
Sumber : kagama.co