KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Salah satu kendala dalam penanganan wabah Covid-19 di Indonesia adalah terbatasnya jumlah Alat Pelindung Diri (APD) yang tersedia untuk tenaga medis.
Padahal, Indonesia memiliki banyak industri produsen APD dan alat kesehatan (alkes).
Hal itu memaksa Pemerintah harus melakukan impor demi memenuhi sarana alkes bagi tenaga medis.
Ketua KAGAMA Farmasi, Apt. Drs. Masrizal Achmad Syarief, menilai, tentu semua orang di Indonesia ingin segera lepas dari ketergantungan impor dengan menggunakan produk dalam negeri.
Namun, ada beberapa problem yang dihadapi oleh industri alkes Indonesia. Hal tersebut dia jelaskan dalam webinar Ikatan Apoteker Indonesia bertema Bersiap Menuju Era New Normal, Selasa (9/6/2020) lalu.
“SDM, infrastruktur, kerja sama stakeholder lintas sektor daerah, belum lengkapnya industri pendukung,” kata Masrizal.
“Kemudian, dukungan kepercayaan dari end user dan perizinan yang memerlukan waktu lama,” terang alumnus Fakultas Farmasi UGM angkatan 1980 tersebut.
Berbagai permasalahan itu bukannya tanpa solusi. Sebab, Masrizal meyakini bahwa itu semua bisa diatasi dalam menyongsong era new normal.
Ada empat solusi yang dia sarankan. Pertama, menyelesaikan fase kedua era teknologi menengah.
Kedua, kepada industri agar mencapai TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) sebesar 40 persen.
Ketiga, mendotong lahirnya industri komponen pendukung alkes. Keempat, mencapai tingkat substitusi impor 35 persen (saat ini masih 7 persen).
Keempat hal tersebut dinilai Masrizal bisa diwujudkan asalkan stakeholder (pemangku kepentingan) juga memberi dukungan penuh.
“Para stakeholder saat ini belum sesuai dengan harapan kami dalam mengakselerasi produksi alkes lokal,” ujar Masrizal.
“Stakeholder yang saya maksud adalah pelaku usaha, lembaga riset dan penelitian, lembaga pendidikan, regulator dan birokasi, end user dan fasilitas kesehatan, dan buyers,” jelasnya.
Masrizal dapat mengatakan demikian lantaran dirinya berkecimpung di dunia alat kesehatan.
Pria kelahiran Payakumbuh ini merupakan direktur dari PT Graha Teknomedika dan PT Rining Prima Putra.
Menurut Masrizal, stakeholder penting karena merekalah pembuka jalan agar alkes dalam negeri dapat diterima buyers.
Stakeholder termasuk di antaranya para apoteker yang menurutnya masih kurang perhatian terhadap industri alkes.
Padahal, katanya, Permenkes No 1189 pasal 25 tahun 2010 menyebut bahwa apoteker adalah penanggung jawab teknis industri alkes.
“Untuk mengurangi ketergantungan impor itu tidak hanya tergantung pada industri,” ujar Masrizal.
“Sebab, itu tergantung dari hulu sampai hilir, komprehensif. Mulai dari komponen hingga supporting partnya,” sambung pria yang juga jadi komisaris PT Phapros ini.
Lebih lanjut, Masrizal menilai, industri dalam negeri punya segala formula untuk memproduksi alkes. Namun, jika bahannya masih impor 95 persen, hal itu berarti sama saja.
Sebab, jikalau dalam keadaan darurat seperti Covid-19 saat ini, semua supplier bahan pasti akan mementingkan kebutuhan dalam negerinya sendiri.
Masrizal lalu mencontohkan pada masker yang dinilai orang-orang sebagai produk yang sederhana.
Kata dia, ada bahan yang belum bisa dibuat di Indonesia, yakni lapisan melt blown filter.
Karena itu, Masrizal menekankan penting membangun industri mulai hulu sampai hilir.
Lantas, bagaimana cara mengubah stigma agar orang-orang mau memakai produk dalam negeri?
Sementara itu, hingga saat ini masih ada orang yang mengharuskan brand impor.
Terkait hal ini, Masrizal mengatakan bahwa harus ada kebijakan secara bertahap untuk bisa memberikan peluang.
Untuk saat ini, alkes yang tidak memerlukan tingkat presisi tinggi harus diberikan ruang sebesar-besarnya.
Dengan demikian, riset dan pengembangan industri alkes dalam negeri akan ikut meningkat.
Sehingga kelak, industri dalam negeri bisa memproduksi alkes invasif yang mensyaratkan tingkat presisi tinggi.
“Selama end user (fasilitas kesehatan) tidak memberikan peluang kepada produsen dalam negeri, kita tidak akan bergerak secepat apa yang diharapkan pemerintah,” ujar Masrizal.
“Kepercayaan end user bisa tumbuh dengan clinical trial. Yakni memberikan kesempatan alkes untuk dipakai di luar kepentingan bisnis.”
“Meski begitu, end user juga tidak bisa dipaksa selama alkes tidak terbukti aman,” pungkas pria kelahiran 7 Agustus 1955 tersebut. (Ts/-Th)
Sumber : kagama.co