KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Ada beberapa indikator untuk mencapai national health security, yang nantinya mendukung terwujudnya Indonesia Emas tahun 2045.
Antara lain ketersediaan dan keterjangkauan kualitas produk dalam pelayanan kesehatan, serta kesadaran masyarakat akan kesehatan.
Demikian disampaikan oleh Direktur Utama PT Kimia Farma, Drs. Apt. Verdi Budidarmo dalam acara Rapat Senat Terbuka Dies Natalis Fakultas Farmasi UGM ke-74, yang digelar pada Selasa (29/9/2020) secara daring.
Verdi memandang, seluruh insentif industri health care sangat diperlukan dalam pengejewantahan sustainable health care melalui pengembangan N2N health care industry.
Sehingga dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan produk yang nantinya berimplikasi pada pengurangan ketergantungan pada produk impor.
“Pengembangan bahan baku obat dan penguatan bisnis dalam rantai nilai dapat dijadikan inisiatif strategis,” terangnya.
Selain sinergi antar pihak yang bersangkutan, kata Verdi, industri farmasi Indonesia perlu melakukan optimasi biaya profitabilitas dan peningkatan kapabilitas.
Kemudian melakukan stimulasi dan inovasi terhadap layanan kesehatan untuk mendukung ketersediaan dan keterjangkauan produk, serta layanan yang berkualitas tinggi.
Perusahaan farmasi saat ini juga mencari cara meningkatkan efisiensi dan mempertahankan margin.
Bersamaan dengan itu pula muncul penemuan terapi baru. Kata Verdi, pemahaman ilmiah memungkinkan obat menjadi lebih tepat dan sesuai untuk individu.”
“Penting bagi semua pihak menigkatkan produktivitas penelitian dan pengembangan,” ujar alumnus Fakultas Farmasi UGM angkatan 1995 ini.
Verdi juga menyoroti tren inovasi digital. Kini layanan kesehatan dilakukan melalui aplikasi digital AI, teknologi wearable, telemedichine, dan peer to peer online.
Teknologi digital dan big data kata Verdi mendukung personalized marketing dan pengolahan data konsumen untuk mendukung pertumbuhan bisnis.
Melansir dari banyak sumber, Verdi menuturkan bahwa dari sisi pengeluaran untuk belanja kesehatan secara global pada tahun 2019, terdapat peningkatan sebesar 5,1 persen.
Sedangkan pengeluaran untuk segmen obat mengalami peningkatan sebesar 5,7 persen.
Pertumbuhan ini diperkirakan terus berlanjut sampai pada 2030, yang mana prediksi biaya pengeluaran kesehatan menunjukkan pertumbuhan sebesar 12 persen dengan CAGR 2018-2030.
1/3 biaya pengeluaran kesehatan global kata Verdi berada pada negara berkembang dan 2/3 ada pada negara maju.
Pendapatan industri farmasi secara global tercatat sebesar 18.131 Triliun atau hampir 7,5 kali APBN Indonesia tahun 2019, dengan pertumbuhan 3, 11 persen dalam lima tahun.
“10 perusahaan farmasi terbesar di dunia telah berkontribusi sebesar 37 persen terhadap pasar global.”
“Industri alat kesehatan secara global, sudah tercatat pendapatan yang signifikan 6500 triliun, dengan prediksi pertumbuhan CAGR 5,4 persen dengan mencapai 8.884 Triliun pada 2025,” papar pria kelahiran 1969 ini.
Sementara itu, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan alat industri antara lain meningkatnya penyakit kronis, pertumbuhan prosedur pembenahan di seluruh dunia, dan investasi alat kesehatan generasi baru yang dilakukan oleh pemerintah di berbagai wilayah.
“Ke depan digital health care solution merupakan pilar utama pengobatan, baik personal health technology yang memungkinkan semua orang mengetahui dari awal kondisi kesehatannya, treatment maupun langkah-langkah pengobatan yang diperlukan.”
“Kondisi ini akan mengubah wajah kesehatan di dunia, termasuk peran tenaga kesehatan,” ujarnya.
Mengutip data dari RPJMN 2020-2024 Bussiness Monitor International, Verdi mengungkapkan bahwa pasar farmasi sepanjang 2016-2019 mengalami peningkatan, dengan total market size dari 79 Triliun menjadi 88 triliun.
Melihat laju pertumbuhan yang tinggi itu, industri farmasi memiliki potensi tinggi. Diprediksikan akan menikmati pendapatan sebesar 88 triliun pada 2023.
Sementara pasar alat kesehatan tumbuh secara siginifikan dengan market size 15,56 triliun seiring dengan meningkatnya dukungan pemerintah, pelayanan kesehatan, meningkatnya jumlah fasilitas. Di tahun 2020, diprediksikan naik menjadi 18 triliun.
Di sisi lain, Ikatan Apoteker Indonesia mencatat ada 78.781 apoteker di Indonesia.
Verdi mengatakan, tenaga kefarmasian belum mencukupi kebutuhan nasional.
Mengutip data dari Kemenkes, Verdi menjelaskan, apoteker di industri kurang dari 15 persen, di pemerintah 11 persen, di komunitas 53 persen, rumah sakit 21 persen.
“Apoteker bisa mengambil peluang diberbagai ekosistem health care, baik dalam rantai nilai, riset dan pengembangan produk, manufaktur, distribusi, pelayanan, regulator, perusahaan asuransi, dan tenaga pendidikan.”
“Bidang Active Pharmatical ingredients (API) dan vaksin sampai saat ini masih membutuhkan apoteker yang kompeten,” tutur pria kelahiran Bandung, Jawa Barat itu. (Kn/-Th)
Sumber : kagama.co