Farmasi UGM. Awal tahun ini dunia digegerkan dengan pandemi COVID-19. Hiruk pikuk dunia seketika senyap berfokus pada upaya menghindari makhluk nano tak kasat mata yang disebut-sebut menjadi sumber masalah COVID-19, virus SARS-CoV-2. Setidaknya hingga Mei 2020, ada lebih dari 3 juta kasus positif COVID-19 di seluruh dunia. Di Indonesia bahkan diketahui bahwa fatality rate atau angka kematian infeksi SARS-CoV-2 relatif tinggi apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Setidaknya hingga saat ini tercatat sebanyak lebih dari 12.000 kasus positif (PDP) dan lebih dari 800 diantaranya meninggal dunia. Seolah tidak cukup berdampak pada kesehatan umat manusia, kondisi pandemi ini memaksa sejumlah negara menerapkan kebijakan yang berdampak besar bagi perekonomian rakyat dan kondisi sosial budaya di dalam negeri, tidak terkecuali Indonesia. Segala upaya dikerahkan mulai dari hulu ke hilir, dari sektor ekonomi hingga kesehatan. Kebijakan work from home, physical distancing, hingga penerapan gaya hidup bersih dan sehat digalakkan dari tingkat keluarga, RT/RW, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi hingga negara. Situasi yang berubah cepat ini menjadikan banyak penyesuaian dan merasakan kondisi asing yang baru di masayarakat.
Apabila menilik dari status pandemi yang ditetapkan oleh WHO pada COVID-19 ini, kita dapat membayangkan betapa pada kehidupan kita (sebelum) ini adalah kondisi yang sangat ideal bagi penyebaran dan perkembangbiakan virus. Bagaimana mungkin tindakan sesederhana mencuci tangan dengan sabun dan menggunakan masker menjadi hal yang tiba-tiba spesial di masa sekarang kalau saja bukan karena keduanya sangat asing dilakukan di masa lalu? Seolah-olah kebiasaan mencuci tangan adalah suatu terobosan mutakhir yang terasa mewah. Hal ini menunjukkan betapa kita dahulu terbiasa dengan perilaku kita yang kurang memperhatikan gaya hidup bersih dan gaya hidup sehat. Sebelumnya, normalnya orang tidak akan ambil pusing ketika harus bepergian atau berinteraksi dengan orang lain. Tidak pernah umum dilakukan budaya mencuci tangan selepas menggunakan atau menyentuh fasilitas umum. Terasa asing melakukan etika batuk dan bersin yang benar. Bahkan terkesan berlebihan apabila harus menggunakan masker di tempat-tempat umum. Tapi bisa kita lihat sekarang, dari tukang sapu, tukang becak, pedagang asongan, sampai para pejabat negara tanpa kecuali ramai-ramai mengkampanyekan perilaku hidup bersih dan sehat.
Fenomena yang sama sekali baru bagi penduduk dunia abad ini ternyata justru menciptakan suatu kondisi normal yang baru. Pepatah every clouds had its silver lining sangat cocok menggambarkan situasi ini. Mengungkap sisi terang pandemi COVID-19 tentu saja kita menemukan bahwa masyarakat secara paksa terdidik untuk menerapkan gaya hidup sehat dan gaya hidup bersih tanpa terkecuali. Memasak makanan sendiri menjadi lumrah. Menggunakan masker menjadi umum. Mencuci tangan sebelum makan menjadi kebiasaan. Orang menjadi lebih sadar untuk menjaga makanan dan memilah jenis makanan yang baik bagi kesehatan tubuh. Mereka bahkan secara sukarela menerapkan gaya hidup sehat dengan rutin berolahraga dan beristirahat cukup demi meningkatkan sistem pertahanan tubuh alami. Seolah-olah dengan adanya pandemi ini masyarakat justru menjadi lebih mawas dengan istilah-istilah kesehatan yang sebelumnya seringkali terabaikan, dianggap remeh, atau justru menjadi momok.
Semua orang berharap pandemi ini akan berakhir. Orang sudah mulai jengah dengan berdiam diri di rumah dan mencari-cari alternatif aktivitas menunggu semuanya kembali normal. Permasalahannya adalah, bahwa kita perlu meredefinisikan normal yang baru. Ketika pandemi berakhir, bukan berarti kita dapat kembali ke pola kehidupan kita yang dulu. Apakah tidak mubadzir menyia-nyiakan kebiasaan bagus yang sudah terlanjur terbentuk selama masa pandemi ini? Apabila pandemi berakhir, perlu diketahui bahwa virus-virus penyebab penyakit COVID-19 tidak berarti lenyap dari muka bumi. Justru akan timbul ketidakseimbangan alam semesta apabila virus dan bakteri lenyap dari muka bumi karena toh setiap makhluk di muka bumi pasti memiliki perannya sendiri dalam menjaga dinamisme harmoni kehidupan. Pada dasarnya bakteri dan virus, materi-materi mikron dan nano tak kasat mata tersebut sudah ada dari sejak dulu kala, dan akan terus ada sepanjang kehidupan alam semesta. Hanya karena ukurannya yang super kecil dan tidak tampak oleh penglihatan manusia, bukan berarti ia lantas tidak ada. Oleh karenanya kita perlu menyadari bahwa kita tidak pernah aman dari risiko paparan infeksi virus maupun bakteri selama kita masih sama-sama hidup berdampingan di alam jagad raya yang sama.
Untuk menjaga kehidupan manusia agar tetap lestari, maka tentunya tidak ada salahnya dan memang alangkah baiknya jika kondisi new normal yang sekarang ini berlangsung tetap dijalankan dan dibentuk menjadi kebaisaan. Kondisi ini justru menaikkan derajat kualitas kehidupan umat manusia secara berjamaah tanpa memandang status negara dan kondisi geografi. Lebih ekstrem lagi, dari pandemi ini manusia telah diinkubasi untuk menjalani revolusi kehidupan yang serentak dan komprehensif di segala bidang. Tugas kita selanjutnya adalah menjaga keberlangsungan kondisi normal yang baru ini secara istiqomah. Konsistensi adalah kunci, sehingga diperlukan komitmen untuk menjaga keberlangsungan hidup yang lebih baik bersama-sama. Untuk itu maka semua unsur masyarakat yang kini juga telah melakukan adaptasi hidup bersih dan sehat ini perlu terus mengembakannya dengan berbagai program dan kegiatan yang berkelanjutan. Untuk menjaga keberlanjutannya itu, tidak cukup kiranya kalau hanya diserahkan begitu saja kepada masyarakat. Perlu dikembangkan program untuk menjaga kesetimbangan biotik (makhluk hidup) dan abiotik (kehidupan sosial ekonomi) yang saat ini sudah dirintis bersama, termasuk hubungan dan kepedulian sosial. Semua Lembaga, misalnya Pendidikan, sosial keagamaan, infrastruktur ekonomi, kesehatan, dan utamanya pemerintahan harus menyiapkannya dengan baik dalam menyambut kondisi paska covid-19 ini agar terjaga harmoni kehidupan yang sehat dan produktif.
Penulis : Irfani Aura Salsabila, S.Farm dan Prof. apt Edy Meiyanto, M.Si., PhD. (Cancer Chemoprevention Research Center Fakultas Farmasi UGM)
Foto : DetikHealth