Farmasi UGM – Wacana legalisasi ganja untuk tujuan medis mencuat dalam beberapa waktu terakhir. Guru Besar bidang Farmakologi dan Farmasi Klinis Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Apt. Zullies Ikawati ikut menanggapi hal itu. Ia menyatakan tidak setuju dengan adanya legalisasi ganja di Indonesia, meskipun dengan alasan untuk tujuan medis.
Menurutnya, ganja sebagai tanaman dan bagian-bagiannya sebaiknya tetap masuk dalam narkotika golongan 1 sesuai dengan regulasi saat ini, karena potensi penyalahgunananya besar. Namun produk obat turunan ganja seperti cannabidiol mungkin dapat dilegalisasi sebagai obat, setelah menjalani prosedur tertentu seperti evaluasi oleh BPOM. Ia mencontohkan pada penggunaan obat-obatan golongan opiate seperti morfin. Morfin yang berasal dari tanaman opium adalah obat legal dan dapat diresepkan dokter pada pengobatan nyeri kanker apabila pasien sudah tidak merespon lagi terhadap obat analgesik lainnya. Kendati demikian, tanaman opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena potensi penyalahgunaannya besar. Oleh sebab itu, ia menyarankan bahwa ganja tetap tidak bisa dilegalisasi, tetapi obat turunan ganja yaitu cannabidiol dapat dimasukkan dalam daftar narkotika golongan 2 atau bahkan 3, dan dapat digunakan sebagai alternatif terakhir apabila obat lain sudah tidak mempan lagi bagi pasien.
“Jadi saya pribadi say no untuk legalisasi ganja walau dengan alasan memiliki tujuan medis. Sedangkan komponen ganja yang bersifat obat seperti cannabidiol bisa digunakan sebagai obat, namun jadi alternatif terakhir,” tegasnya.Proses legalisasi obat turunan ganja tersebut harus dilakukan mengikuti kaidah pengembangan obat dan didukung dengan adanya data uji klinis terkait, melibatkan BPOM sebagai badan otoritas yang mengesahkan obat di Indonesia.
Prof. Zullies juga menekankan pentingnya koordinasi dari semua pihak terkait untuk membuat regulasi dalam pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja seperti cannabidiol dengan mempertimbangkan risiko dan manfaatnya. Riset-riset ganja juga perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan dengan tetap membatasi akses guna menghindari penyalahgunaan.
Selain Prof. Zullies, webinar yang diselenggarakan Fakultas Farmasi dengan Kagama Farmasi UGM pada Rabu (6/7) yang mengangkat tema Jalan Panjang Legalisasi Ganja Medis juga turut menghadirkan narasumber Guru Besar bidang Biologi Farmasi Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Apt. Suwijiyo Pramono, DEA. Dalam pemaparan yang disampaikan beliau menjelaskan tentang penelitian dan pengembangan tanaman ganja di Indonesia.
Menurutnya, tanaman ganja ada 3 jenis, Cannabis sativa L yang biasa disebut mariyuana biasa tumbuh di daerah beriklim panas termasuk Indonesia, Cannabis indica sativa? Lam atau Hemp yang tumbuh di daerah empat musim seperti di Eropa, Amerika dan lainnya serta terakhir jenis Cannabis ruderalis Janisch yang tidak begitu banyak dijamah karena ketersediaannya terbatas.
Ada beberapa kandungan kimia yang ada di tanaman ganja, lebih dari 360 kandungan senyawa. Namun yang utama, dalam jumlah relatif tinggi kadarnya adalah Tetrahydrocannabinol yang sifatnya halusinogen serta harus dihindari pemakaiannya, Cannabidiol sifatnya non-halusinogen yang tidak membuat ketagihan dan terakhir Cannabinol yang sifatnya intermedier.
Dalam pemaparannnya, Prof. Pram menyatakan sepakat dengan Prof. Zullies bahwa sebaiknya tetap perlu kehati-hatian terkait penggunaan ganja untuk alasan medis. “Perlu kehati-hatian dan harus dijaga supaya tidak bocor, karena sangat prihatin setiap melihat di TV banyak disalahgunakan oleh generasi kita” ujarnya. (Rita/Humas)