Yogyakarta, 7 November 2025 — Bersama dengan PT Etana Biotechnologies Indonesia, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), dan co-host Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Fakultas Farmasi UGM menyelenggarakan Indonesia Biopharmaceutical Summit (IBS) 2025. Summit internasional yang diselenggarakan secara hybrid di Auditorium Lt.8 Gedung APSLC Fakultas Farmasi UGM ini mengusung tema besar “Accelerating Indonesia’s Transition Toward a Resilient and Sustainable Biopharmaceutical Ecosystem”.
Selama dua hari pelaksanaan, yakni pada 6–7 November 2025, summit ini menghadirkan 18 pembicara nasional dan internasional dari berbagai institusi dan industri terkemuka seperti PT Etana Biotechnologies Indonesia, CanSino, RNA Cure, Biomap, Merck, Syntegonserta mitra industri dan lembaga penelitian lainnya. Seluruh kegiatan dikemas dalam format kuliah, sesi panel, dan diskusi interaktif yang membahas perkembangan terkini dalam penelitian, kebijakan, dan teknologi biofarmasi yang dihadiri oleh lebih dari 200 peserta on-site dan 70 peserta online.
Hari pertama konferensi menampilkan dua panel utama, yaitu “The Horizon of Indonesian Biopharma” yang membahas arah strategis pengembangan industri biofarmasi nasional dan penguatan kapasitas riset domestik, serta “The Frontier of Drug Discovery” yang menyoroti inovasi dalam penemuan dan pengembangan senyawa terapeutik baru berbasis teknologi mutakhir. Sementara itu, pada hari kedua diselenggarakan dua sesi lanjutan dengan tema “The Blueprint for Next-Gen Manufacturing” yang mengulas penerapan teknologi manufaktur generasi baru seperti bioproses dan sistem single-use technologies, serta “The Pillar of Quality Excellence” yang berfokus pada pengendalian mutu, regulasi, dan standardisasi dalam menjamin keamanan serta efektivitas produk biofarmasi.
Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. apt. Satibi, M.Si., menyampaikan bahwa Indonesia Biopharmaceutical Summit 2025 tidak hanya menjadi ajang pertukaran ilmu, tetapi juga tonggak penting dalam memperkuat jejaring riset lintas sektor dan lintas negara. “Forum ini merupakan langkah strategis untuk menjembatani hasil riset dasar menuju aplikasi klinis dan komersial yang berdampak nyata bagi masyarakat. Kolaborasi antara akademisi, industri, dan regulator menjadi kunci dalam membangun kemandirian ekosistem biofarmasi Indonesia,” ujarnya.
Kegiatan ini menegaskan pentingnya sinergi lintas sektor untuk menghadapi tantangan global seperti resistansi antimikroba, pemerataan akses obat, serta penguatan rantai pasok biofarmasi nasional. Melalui potensi besar biodiversitas Indonesia dan kapasitas riset yang terus berkembang, konferensi ini menjadi ajang kolaborasi untuk mempercepat pengembangan green pharmacy, bioprocessing technology, dan biomanufacturing innovation sebagai pilar utama transformasi menuju ekonomi berbasis bioindustri.
Kegiatan ini juga sejalan dengan komitmen Fakultas Farmasi UGM dalam mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Good Health and Well-being (SDG 3) melalui peningkatan kualitas dan akses terhadap pengobatan, Industry, Innovation and Infrastructure (SDG 9) melalui penguatan riset dan inovasi teknologi farmasi, serta Partnerships for the Goals (SDG 17) melalui kolaborasi aktif antara akademisi, industri, dan pemerintah untuk membangun masa depan kesehatan yang inklusif dan berkelanjutan.


