BULAKSUMUR – Awalnya Sampurno ingin menjadi insinyur. Pada 1970, pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 31 Desember 1950 ini memilih Jurusan Teknik Kimia dan Farmasi. Terang saja, Teknik Kimia menjadi tujuan utamanya. Namun karena ia lebih dulu diterima di Farmasi, akhirnya jurusan tersebut diambilnya. Masuk di jurusan yang tidak diinginkan tentu berat. Tak mengherankan jika pada dua tahun pertama menempuh studi, Sampurno merasa salah jurusan. Kala itu, ia merasa jurusan Farmasi terlampau kaku sehingga kreativitasnya mampet. Setiap praktikum, Sampurno merasa hanya diminta mencari atau pun membuktikan sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya. Model pendidikan macam ini membuatnya merasa tidak nyaman. Untungnya, selain menempuh studi, Sampurno juga aktif berorganisasi. Ia merupakan aktivitis Komisariat Dewan Mahasiswa (Kodema) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). “Di sana saya malah senang. Bahkan saya punya semboyan ‘jangan sampai kegiatan intra menganggu kegiatan ekstra’,” ujar Sampurno disusul tawa, kepada Kagama belum lama ini. Walau merasa tidak cocok dengan Farmasi, Sampurno berhasil lulus cepat. Kala itu, lulus dalam waktu 10 tahun adalah hal yang lumrah bagi mahasiswa Farmasi. Jurusan ini memang dikenal ‘horor’ karena padatnya aktivitas praktikum dan sulitnya materi yang diajarkan.
Namun demikian, ia berhasil melewati itu semua. Meskipun di awal tahun kuliah merasa kurang bahagia dan merasa tidak cocok dengan Farmasi, Sampurno berhasil lulus dalam waktu 7 tahun. Waktu yang dianggap cepat saat itu. Ia termotivasi lantaran membayar biaya kuliah dengan uangnya sendiri. Hal itu terjadi saat tahun kedua. Ia nyambi menulis di koran dan berjualan batik. “Saya merasa ada blessing in disguise di balik pilihan saya memilih farmasi. Saat masuk dunia kerja, saingan saya sedikit sehingga karier saya lancar,” ujar Sampurno.
Aktif di POM
Lulus tahun 1977, Sampurno sempat ingin mengawali karier di perusahaan farmasi. Akan tetapi, setelah dipikir ulang ia merasa tidak cocok kerja di perusahaan. Ia lantas melamar di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makan (sekarang Badan POM). Pilihan ini terbukti tepat. Kariernya terbilang mulus. Ia juga sempat menjabat sebagai Direktur Perencanaan dan Pengembangan Perum Bio Farma di Bandung (1994-1995), lalu ditarik lagi ke POM dan menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal POM (1995-1998), hingga menjadi Dirjen POM pada tahun 1998-2001. “Dulu saya waktu kerja di POM pernah bantu-bantu nulis pidato bagi politisi. Saya pernah diminta nulis pidato buat politisi yang mau ngisi acara di Gereja. Berhubung saya muslim, saya nulis yang umum-umum saja. Isu nasional begitu. Berkat jadi Dirjen POM, saya diangkat sebagai Majelis Wali Amanat di UGM,” kenang Sampurno.
Berkat pengalamannya tersebut, selain mengajar di Fakultas Farmasi UGM, Sampurno jugajkerap diundang mengajar di berbagai kampus Farmasi di Indonesia untuk mata kuliah Manajemen Farmasi. Karier yang lancar, tak membuat Sampurno lupa akan kehidupan pasca kematian. Ia mengaku gemar membaca Alquran guna mengisi waktu luangnya. Berdasarkanpembacaanya terhadap Alquran, ayah dari dua anak ini merasa agama tidak bertentangan dengan ilmu farmasi yang digelutinya. Kata Sampurno, jika dicocokkan, banyak kemiripan antara Alquran dengan ilmu pengetahuan. Ia tidak menampik bahwa riset-riset ilmu pengetahuan di Indonesia harus digiatkan. Menurutnya, ilmu pengetahuan bisa berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi suatu negara. “Coba lihat Korea dan Jepang, mereka ekonominya maju. Kita sudah 72 tahun merdeka masih begini-begini saja. Coba kalau ITB, UI, dan UGM rajin riset dan memberikan (hasilnya) kepada negara, mungkin bisa lebih maju,” tegas Sampurno.(Venda)
Sumber : Portal Kagama