Pemerintah harus mendorong penelitian terhadap penggunaan jamu tradisional. Ini agar bangsa Indonesia tidak ketinggalan dengan negara lain. “Kalau perlu tradisi minum jamu dilestarikan sebagai salah satu budaya bangsa ini.” ujar Prof. Dr. Wahyono, SU Apt. saat menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Farmasi UGM di Balai Senat UGM.
Dikatakan, penggunaan tanaman tradisional sebagai obat-obatan tidak kalah dibandingkan bahan kimiawi. Bahkan penggunaan bahan alami justru tidak menimbulkan efek samping yang berlebihan. “Dari penelitian pada 520 obat alami, 60-80 persen antibakteri dan antikanker” urainya.
Wahyono lebih lanjut mengatakan, saat ini penggunaan obat alami telah dipadukan dengan teknologi modern. Hasilnya, keberadaan obat alami ini dapat bersaing dengan obat modern yang sudah ada. “Hal inilah yang saat ini dikembangkan para pebisnis obat di Indonesia. Sudah seharusnya penelitian tentang tanaman obat didorong dan didanai, sehingga ndonesia tidak ketinggalan dalam memanfaatkan tanaman obat yang sangat melimpah,” tandas suami Dra. Sri Hastutiningrum, M.Kes ini.
Ia mengungkapkan ada beberapa tanaman tradisional yang terus dikembangkan karena khasiatnya. Seperti sirgunggu, biotagor dan kemukus. “Bahkan untuk sirgunggu sudah dibuat dalam berbagai bentuk, seperti cairan hingga pil.” terangnya.
Wahyono mengakui Indonesia merupakan negara yang kaya raya. Bukan hanya sumber daya dibidang energi dan mineral, negara ini juga mempunyai berbagai macam tanaman obat-obatan. Penggunaan tanaman sebagai sumber obat-obatan untuk jamu telah dilakukan sejak dulu. Bahkan sudah tak terhitung lagi banyaknya masyarakat yang tertolong kesehatannya berkat adanya jamu.
“Penggunaan jamu sebagai obat ini sudah dilakukan secara turun temurun.” katanya dalam pidatonya berjudul Eksistensi dan Perkembangan Obat Tradisional Indonesia (Jamu) dalam Era Obat Modern. Hanya, penggunaan jamu sebagai obat masih membtuhkan penelitian lebih lanjut.
“Ini untuk mengantisipasi risiko yang ditimbulkan akibat meminum jamu. Memang sudah banyak jamu yang sudah dibuktikan secara ilmiah, tapi setiap yang ada didunia ini mempunyai risiko. Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut,” ujarnya.
Sumber : Radar Jogja 29 April 2008