Penguasaan SDM bangsa Indonesia di bidang teknologi kesehatan dan obat-obatan terbilang masih sangat rendah. Tidak heran jika impor bahan obat dan alat kesehatan mencapai 97,2 persen. Pemerintah diminta mendorong pengembangan industri strategis di bidang farmasi dan alat kesehatan dalam 25 tahun mendatang melalui pengembangan SDM dan penyiapan regulasi untuk mendukung kemandirian bangsa di bidang kesehatan.
Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam diskusi dalam rangka penyusunan roadmap pengembangan industri strategis dan teknologi tinggi di tahun 2045 melalui pengembangan SDM pendidikan tinggi. Diskusi yang diselenggarakan oleh UGM dan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) RI di ruang mult media dan Grand Aston Hotel Yogyakarta selama dua hari, 11-12 April, menghadirkan beberapa pakar dari UGM, diantaranya peneliti nanoteknologi biokeramik dari FKG UGM, drg. Ika Dewi Ana, M.Kes., Ph.D., peneliti stem cell dari FKKMK UGM, dr Rudy Ghazali Malueka., Ph.D., Sp.S dan peneliti obat herbal dari keanekaragman hayati Prof. Dr. Subagus Wahyuono, Apt
Ika Dewi Ana mengatakan pengembangan nanoteknologi untuk kesehatan perlu dikembangkan bersama-sama. Menurutnya, UGM sudah mulai menghilirkan beberapa produk kesehatan dari produk skala herbal bahkan sudah menerapkan nanobiokeramik sudah dipasarkan dan sudah mendapatkan daftar e katalog. “Setidaknya poduk-produk ini bisa menggantikan beberapa produk impor dengan standar SNI,” katanya.
Ika menuturkan pengembangan produk kesehatan melalui produksi sendiri oleh pabrik milik UGM dalam rangka menyongsong kemandirian bangsa di bidang kesehatan. “Kompetisi bangsa kita dalam teknologi kesehatan masih sangat rendah sekitar 97,2 persen alat kesehatan kita masih impor,” ujarnya.
Menurutnya, pengembangan teknolgi nano untuk bidang kesehatan sangat penting terutama untuk menangani berbagai penyakit seperti kanker yang diperkirakan menjadi penyebab kematian terbesar di masa depan. “Hal ini menjadi tantangan, di tahun 2045 penduduk kita 25 persen didominasi populasi usia lanjut di atas 60 tahun atau 74 juta orang yang sebagian besar berasal di daerah terpinggirkan,” katanya.
Untuk menyiapkan berbagai produk farmasi dan alat kesehatan, kata Ika, UGM telah menyiapkan lahan seluas kurang lebih dua hektare yang rencananya akan diresmikan dalam waktu dekat. “Ada lahan seluas dua hektare kita buat pabrik alat kesehatan,” katanya.
Apa yang dilakukan oleh UGM untuk mendirikan pabrik sendiri untuk memproduksi obat obatan dan alat kesehatan ini dikarenakan sulitnya mengakses produsen obat di dalam negeri yang lebih banyak memprioritaskan obat dan alat kesehatan dari luar. Tidak hanya itu, tantangan untuk memproduksi sebuah produk kesehatan membutuhakn waktu rata-rata 14 tahun dengan biaya yang tidak sedikit dan kemungkinan besar bisa gagal. Namun begitu, kendala tersebut bisa diatasi melalui penyiapan SDM yang andal dan terampil serta perbaikan regulasi dan peningkatan standardisasi produk.
Pakar pengobatan stem cell UGM, dr. Rusdy Ghazali Malueka, Ph.D., Sp.S., mengatakan pengobatan melalui stem cell atau sel punca berpotensi untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif. Namun demikian, pengembangan teknologi pengobatan ini masih terus dikembangkan. Menurutnya, melalui teknologi sel punca ini nantinya bisa mengobati penyakit jantung, diabetes dan kanker serta kasus patah tulang.“Di UGM masih tahap inovasi sementara untuk produksi kita masih kerja sama dengan Kalbe Farma, target kita 2020 sudah bisa produksi sendiri,” katanya.
Penelitian yang dilakukan di UGM, kata Rusdy, sudah diterapkan ke beberapa pasien yang terkena kasus patah tulang setelah bertahun tahun tidak bisa berjalan dan menunjukkan hasil yang mengembirakan “Sementara kita terapkan pada pasien yang patah tulang atau tidak bisa berggerak,” katanya,
Sementara pakar obat herbal Pros Subagus menuturkan saat ini potensi obat herbal dari sumber keanekeragaman hayati semakin banyak dilupakan. “Kita kehilangan kemandirian dalam produk obat obatan,” ujarnya.
Ia menyebutkan meski Indonesia memiliki potensi sumber obat herbal, namun hanya ada lima produk herbal yang sudah dipasarkan. “Sampai hari ini kita hanya memiliki lima produk phytofarmaka,” kata Subagus sambil menyebutkan merek masing-masing produk.
Minimnya produksi obat herbal tersebut disebabkan industri obat dalam negeri lebih suka bekerja sama dengan industri dari luar negeri dengan hanya mendapat lisensi untuk bisa dipasarkan ke dalam negeri. “Kalau seperti ini peneliti itu mau jadi apa? berjalan sendiri? Bagaimana kita bisa mengatakan biodiversitas memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat,” imbuhnya.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh UGM untuk mendirikan pabrik farmasi dan alat kesehatan diharapkan bisa memberikan harapan agar biodiversitas bisa dikembangkan sebagai sumber obat herbal dengan melibatkan masyarakat petani untuk diajak menanam. (Humas UGM/Gusti Grehenson)