Farmasi UGM. Pandemi Covid-19 yang telah memakan banyak korban meninggal dunia, sementara belum ada obat yang dipastikan ampuh, membuat banyak pihak berupaya mencari obat-obat penangkal Covid-19. Industri farmasi dunia banyak yang mencoba menemukan obat-obat untuk Covid-19, baik dari obat yang sudah ada, maupun membuat obat baru untuk melawan virus jahat ini, misalnya Gilead dengan remdesivir, Fuji Film dengan Favipiravir, dll. Sementara banyak industri farmasi mencari obat untuk Covid dengan cara ilmiah menggunakan uji klinik yang ketat, masyarakat Indonesia pun tak ketinggalan berkreasi dengan “menciptakan” obat-obat baru yang diklaim ampuh melawan Covid-19. Tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk cermat dan waspada di dalam menerima informasi terkait dengan obat-obat Covid-19, apalagi jika belum ada uji yang relevan.
Proses penemuan obat
Untuk sampai ke tangan konsumen/pasien, suatu obat yang baik perlu melalui serangkaian proses. Penemuan suatu obat baru untuk suatu penyakit bisa berangkat dari berbagai sumber. Yang pertama, obat dapat diperoleh dari modifikasi dari sebuah struktur molekul tertentu atau sintesis secara kimiawi menghasilkan suatu senyawa obat. Yang kedua, obat “baru” bisa berasal dari obat yang sudah ada, tetapi digunakan untuk penyakit yang berbeda. Dalam hal obat Covid-19, telah banyak dicoba obat-obat lama untuk mengatasi Covid-19, yang disebut sebagai drug repurposing. Misalnya klorokuin dan hidroksiklorokuin, mereka adalah obat yang sebelumnya digunakan untuk malaria dan penyakit autoimun, dan sekarang banyak diujikan secara klinik dan digunakan secara khusus untuk Covid-19.
Dalam hal obat yang sama sekali baru, obat perlu diuji lebih dahulu secara in vitro (menggunakan system di luar tubuh), atau pada in vivo (menggunakan system tubuh) pada binatang percobaan. Dalam hal mencari obat anti virus Covid-19, umumnya dilakukan dahulu uji secara in vitro menggunakan suatu sel kultur yang diinfeksi dengan virus tersebut. Jika obat baru tersebut bisa menghambat perkembangan virus atau membunuh virus corona, maka obat tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai obat antivirus Covid-19. Namun jika secara in vitro pun tidak berefek, maka ada kemungkinan obat tersebut tidak berefek jika digunakan pada manusia.
Selain aspek kemanjuran, maka harus diperhatikan pula aspek keamanan. Jika suatu obat sangat manjur terhadap suatu penyakit tetapi menyebabkan efek samping yang berbahaya, maka calon obat tersebut tidak bisa diteruskan menjadi obat baru. Calon-calon obat tersebut perlu diujikan pada hewan dahulu untuk melihat potensi keamanannya, yang disebut dengan uji toksisitas. Jika terbukti tidak toksik, maka bisa diteruskan untuk uji selanjutnya. Untuk obat yang akan digunakan pada manusia, tentu harus dicobakan pada manusia dalam suatu uji yang disebut Uji Klinik. Uji Klinik memiliki persyaratan yang ketat untuk dapat digunakan sebagai dasar penggunaan pada manusia, antara lain adalah kriteria subyeknya, jumlah subyek ujinya, variasi kondisi subyek uji-nya, parameter yang diukur, dll. Jika suatu uji klinik berhasil menunjukkan kemanjuran dan keamanan, maka obat akan didaftarkan ke badan otoritas obat yaitu Badan POM, yang bertanggung jawab menjamin keamanan dan potensi kemanjuran suatu obat. Setelah didaftarkan dan dievaluasi oleh para pakar, barulah suatu calon obat mendapat ijin edar dan dapat dipasarkan. Jadi, tidak mudah untuk suatu obat baru itu sampai di tangan konsumen, karena harus mengikuti berbagai proses.
Bagaimana dengan obat herbal atau alternatif lainnya?
Indonesia sangat kaya akan tanaman obat yang mungkin saja berpotensi untuk mengatasi Covid-19. Namun demikian, aturan dalam pengembangan obat baru dari herbal pun tentunya juga harus mengikuti kaidah ilmiah yang berlaku. Sumber obat herbal sedikit berbeda dengan obat sintetik, yaitu adanya kemungkinan berasal dari pengalaman empiris bertahun-tahun. Jamu-jamu atau ramuan tradisional Indonesia dari berbagai daerah umumnya telah memiliki pengalaman bertahun-tahun untuk suatu penyakit tertentu. Selain pengalaman empirik, ada juga sumber obat herbal yang berupa suatu inovasi baru, misalnya kulit manggis atau kulit jeruk, yang dulunya tidak digunakan masyarakat, tetapi berdasarkan penelitian ternyata memiliki manfaat obat.
Obat-obat herbal ini ada yang diolah sendiri oleh masyarakat untuk dikonsumsi sendiri seperti jamu, dan ada pula yang diolah lebih modern, diformulasi dengan bahan-bahan lain dan disajikan secara modern, seperti dalam bentuk kapsul, kaplet atau sediaan lainnya, untuk dipasarkan lebih luas. Sebagian dikemas menjadi Obat Herbal Terstandar, dan diujikan secara preklinik pada hewan uji untuk dipastikan keamanan dan kemanjurannya. Jika lolos uji, obat-obat herbal ini bisa digunakan pada manusia. Jika sudah diujikan secara klinis pada manusia, dan terbukti kemanjuran dan keamanannya, maka obat herbal dapat didaftarkan sebagai Fitofarmaka.
Penemuan obat-obat alternatif untuk Covid-19
Selama masa pandemik Covid-19, bermunculan beberapa obat-obat alternatif yang diklaim dapat mengatasi penyakit COVID-19. Beberapa penggiat pengobatan alternatif sampai akademisi berlomba-lomba mencari obat alternatif yang ampuh menghadapi Covid-19. Kalau dilihat, ada beberapa obat alternatif yang dipromosikan dengan cukup gencar.
Sebagian mungkin berangkat dari keprihatinan dan niat baik akibat belum adanya obat-obat Covid-19 yang benar-benar direkomendasikan. Hal yang tidak kita harapkan adalah jika ada yang mungkin memanfaatkan kepanikan masyarakat yang takut akan tertular Covid, atau bahkan sudah terinfeksi. Sebagian belum ada bukti ilmiahnya, dan bahkan sulit diterima oleh logika ilmiah. Adanya bukti kesembuhan yang berupa testimoni hanya beberapa orang masih sangat kurang untuk mendukung kemanjuran obat-obat tersebut, apalagi penyakit Covid-19 ini pada sebagian orang yang system imunnya kuat bahkan tidak memberikan gejala dan menjadi penyakit yang bisa sembuh sendiri (self limiting disease). Di sisi lain, keterlambatan masyarakat mendapatkan obat yang tepat dapat menunda kesembuhan, bahkan bisa berakibat fatal jika ternyata virus tetap bereplikasi secara cepat pada tubuh pasien. Karena itu, masyarakat perlu lebih cermat dan bijak dalam memilih produk-produk alternatif yang beredar di pasaran. Inovasi-inovasi obat baru untuk Covid-19 tentu sangat diapresiasi dan diharapkan, namun harus tetap berada pada koridor ilmiah yang dapat ditelusuri dan dibuktikan.
Tips untuk memilih obat-obat herbal atau alternatif untuk Covid-19
Berikut adalah beberapa tips untuk memilih obat-obat untuk mencegah atau mengatasi Covid-19:
- Gunakan obat-obat herbal yang telah terdaftar di BPOM. Jika ada produk yang mengaku telah terdaftar di BPOM dan mestinya mendapat nomor izin edar, maka itu harus dikonfirmasi terlebih dahulu melalui situs web BPOM (https://cekbpom.pom.go.id/) atau melalui aplikasi BPOM yang tersedia. Dapat juga menanyakan kepada Layanan Halo BPOM. Perlu diketahui bahwa produk yang diregister sebagai pangan, maka produk tersebut tidak bisa memiliki izin edar sebagai suplemen kesehatan atau bahkan obat pada saat yang sama. Jadi jika ada produk pangan yang diklaim memiliki efek pengobatan, maka itu perlu dipertanyakan.
- Jika ada produk yang klaimnya terlalu bombastis dan mekanismenya tidak jelas, sebaiknya tidak langsung percaya, dan tanyakan kepada ahli-ahli obat, misalnya kepada Apoteker di Apotek/RS atau di institusi Pendidikan Farmasi.
- Jika menjumpai promosi obat atau produk herbal yang tidak jelas kandungannya, sebaiknya berhati-hati, karena bisa jadi ada kandungan dalam produk tersebut yang dikontraindikasikan (harus dihindarkan) pada penyakit tertentu yang diidap. Tanyakan pada Apoteker dan minta saran produk yang lebih terjamin keamanannya. Pastikan bahwa produk obat yang Anda konsumsi itu jelas kandungannya dan aman.
Demikian, semoga kita semua terhindar dari penggunaan obat-obat alternative yang tidak tepat selama masa pandemi Covid-19, dan juga terhindar dari penyakit Covid-19.
Penulis : apt. Prof. Dra. Zullies Ikawati, PhD (Dosen Farmasi UGM, Ketua Program Studi Magister Farmasi Klinik)
Sumber Foto Utama : Beritasatu.com