Farmasi UGM. Sejak terjadinya pemerkosaan, kekerasan seksual dan pedofil pada anak-anak di Indonesia makin meningkat, maka mau tidak mau pemerintah Indonesia mulai melirik hukuman yang sudah diterapkan di Negara-negara lain yaitu kebiri. Kebiri sudah dikenal sejak lama seperti tersebut dalam sejarah kerajaan di negeri Cina dan kerajaan di Nusantara di masa lalu. Seorang laki-laki yang dijuluki sebagai Kasim adalah pembantu kerajaan yang sudah menjalani kebiri kemungkinan saat itu adalah kebiri secara fisik(pembedahan), dikenal sangat setia kepada keluarga Kerajaan dan merupakan penjaga bagi permaisuri dan putri-putri Raja. Kasim jelas tidak memiliki keinginan/nafsu seksual karena telah mengalami proses kebiri yang memang ini sengaja dilakukan untuk menjaga kehormatan para permaisuri dan putri Raja. Tidak heran jika seorang Kasim merupakan pembantu Raja yang diberi kedudukan sangat terhormat karena merupakan orang kepercayaan Raja.
Beberapa Negara telah menjalankan kebiri baik secara fisik maupun kimia sebagai hukuman bagi pelaku pemerkosaan dan kekerasan seksual yang memakan banyak korban. Denmark adalah Negara pertama yang menerapkan hukuman kebiri fisik (bedah) pada tahun 1929, kemudian pada tahun 1973 kebiri kimia. Korea Selatan adalah Negara di Asia yang pertama kali menerapkan hukuman kebiri kimia pada tahun 2011 (Lee&Cho,2013). Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2020 sudah ditandatangani oleh Presiden Indonesia pada 7 Desember 2020, terkait tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual pada anak.
Apa itu kebiri?
Kebiri adalah upaya menurunkan dorongan seksual biasanya dilakukan untuk pelaku kekerasan seksual dengan cara menurunkan kadar hormone androgen yaitu testosterone (T) pada pria. Testosteron adalah hormone utama yang diperlukan untuk libido/hasrat seksual dan fungsi seksual (sexual behavior). Beberapa penelitian menyebutkan tingginya kadar hormone androgen utamanya testosterone pada pelaku kekerasan seksual dibandingkan pada pria normal bukan pelaku kekerasan seksual (Kreuz & Rose, 1972; Rada dkk, 1976; Brooks &Reddon, 1996). Ada pula penelitian yang menyebutkan adanya korelasi antara tingginya kadar hormone androgen terhadap agresivitas kekerasan seksual (Giammanco dkk, 2005). Sehingga para peneliti mulai melirik kemungkinan penurunan angka kekerasan seksual dengan cara menurunkan kadar testosterone pada jumlah tertentu pada pelaku kekerasan seksual sehingga diharapkan nafsu seksual/libidonya pelaku menjadi sangat rendah atau bahkan hilang untuk sementara waktu/sepanjang waktu yang diharapkan (dalam masa observasi oleh tenaga medis)(Grubin& Beech, 2010). Awal mula munculnya praktek penurunan testosterone terjadi pada tahun 1944 saat para ahli menemukan bahwa telah terjadi penurunan kadar testosterone yang sangat bermakna pada pasien pria yang mendapatkan terapi disetilstilbesterol (DES) (Miller, 1998).
Manipulasi penurunan kadar testosterone
Dengan memahami mekanisme sintesis testosterone dalam tubuh, dapat dilakukan manipulasi baik secara fisik maupun kimia penurunan kadar testosterone. Munculnya hormone testosterone pada pria dimulai dari timbulnya berbagai rangsanganyang melibatkan semua indera manusia (penglihatan, pendengaran, penciuman dll) yang akan merangsang hipotalamus di otak untuk mensekresikan gonadotropin releasing hormone (GnRH). Selanjutnya, GnRH ini akan menstimulasi dibuatnya hormone reproduksi di adenohipofisis di otak. Hormone yang disintesis akibat pacuan GnRH adalah luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH). LH dan FSH yang disintesis serta disekresi di adenohipofisis akan dibawa oleh darah ke testis. LH khususnya menyampaikan pesan kepada sel Leydig di testis untuk memproduksi testosterone. Selain itu testosterone bersama dengan FSH akan mempengaruhi sel Sertoli di testis melakukan proses produksi sperma/spermatogenesis. Adanya kadar testosterone yang adekuat dalam tubuh akan mempengaruhi timbulnya tanda-tanda kelamin baik primer maupun sekunder yaitu perbesaran dan pematangan organ reproduksi hingga tercapai kondisis pubertas (kematangan seksual) serta munculnya rambut di tempat-tempat tertentu serta perbesaran jakun (Clavijo &Hsiao, 2081). Perilaku seksual pada pria sesungguhnya masih melibatkan area yang lain di saraf parasimpatis termasuk mediator kimia yaitu nitrit oksida (NO), siklik GMP dan enzim fosfodiesterase-5 (PDE-5) (Burnett, 2007), namun tampaknya para ahli sepakat bahwa dalam hukuman kebiri secara kimia yang menjadi target adalah menurunkan kadar testosterone baik pada tahap gangguan kerja pada GnRH atau sintesis testosterone sebagai hormone androgen (Lee&Cho,2013).
Obat-obat untuk kebiri kimia
Medroksiprogesteron asetat dan cyproteron asetat digunakan di Amerika, Eropa dan Kanada untuk melakukan hukuman kebiri kimia. Kedua obat ini adalah hormone antiandrogen yang bekerja pada tahap sintesis testosterone maupun reseptor androgen di dalam sel Leydig di testis (Scott & Holmberg, 2003). Salam PP No 70 tahun 2020 pasal 1 tidak disebutkan zat kimia apa yang akan diberikan untuk kebiri kimia. Dalam PP tersebut dituliskan bahwa kebiri kimia yang dimaksud adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang dimulai dengan penilaian klinis oleh tenaga medis dan psikiatri (pasal 7). Tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun (pasal 5).
Proses sintesis testosterone dan hormone androgen lainnya terjadi di sel Leydig di testis. Testosteron diproduksi berasal dari bahan utama kolesterol. Dengan berbagai peristiwa seperti gambar 2, kolesterol mengalami konversi menjadi progesterone yang oleh enzim 17α-hidroksiprogesteron diubah menjadi androstenedion. Dengan adanya kerja dari enzim 17β-hidroksisteroid dehydrogenase (17β-HSD), androstededion diubah menjadi testosterone. Senyawa seperti medroksiprogesteron adalah golongan progesterone yang jika disuntikkan/digunakan secara oral akan menimbulkan semakin banyaknya testosterone dalam tubuh yang pada akhirnya akan memberikan umpan balik negative kepada GnRH untuk selanjutnya tidak memproduksi testosterone. Hal ini terjadi berulang sehingga kadar testosterone dalam tubuh pria makin turun (Rosenfield &Pizzutto, 2018).
Cyproteron asetat adalah progestin sintesis yang merupakan inhibitor kompetitif terhadap testosterone dan dihidrotestosteron (DHT) di dalam reseptor androgen. Adanya hambatan pada reseptor androgen akan menimbulkan regulasi negative pada GnRH yang pada akhirnya kadar testosterone diturunkan (Gambar3) (Vincens dkk, 1983). Selain itu juga ada flutamide dan bicalutamid, obat non steroid inhibitor reseptor androgen. Selama ini flutamide dan bicalutamid digunakan sebagai obat untuk kanker prostat, yang memiliki sifat menghambat reseptor androgen sama halnya dengan cyproteron asetat (Labrie, 1993; Osguthorpe & Hagler, 2011). Obat antiandrogen lainnya seperti finasterid juga dapat digunakan untuk kebiri kimia dengan mekanisme kerja hambatan enzim 5α-reductase. Finasterid selama ini dikenal sebagai obat perbesaran prostat jinak (BPH)(Smith & Carson, 2009).
Obat lain yang juga digunakan untuk menekan produksi testosterone yang bekerja secara langsung pada GnRH adalah obat analog GnRH (histrelin asetat) dan GnRH agonis (goserelin, leuprolid, triptorelin). Masuknya obat mirip GnRH akan menyebabkan makin banyaknya jumlah GnRH yang seiring dengan waktu menyebabkan GnRH di otak akan memproduksi testosterone dalam jumlah makin banyak namun jumlah testosterone yang banyak ini akhirnya akan menyebabkan feedback negative terhadap GnRH akhirnya testosterone juga turun. Penggunaan obat GnRH agonis ini di beberapa penelitian dianggap yang menjanjikan tujuan penurunan testosterone secara lebih baik dibandingkan dengan penggunaan obat lainnya (Deeks, 2010; Bolla dkk, 1997).
Obat lain yang juga masuk dalam golongan obat penghambat sintesis testosterone adalah ketokonazol. Ketokonazol menghambat konversi kolesterol menjadi progesterone. Selama ini ketokonazol dikenal sebagai obat jamur. Namun mungkin dibutuhkan penggunaan ketokonazol jangka panjang untuk mencapai kadar testosterone yang turun secara bermakna (Santen dkk, 1983).
Dengan tersedianya banyak pilihan dalam hukum kebiri kimia, pemerintah Indonesia tinggal memilih jenis obat mana yang akan digunakan apakah yang bekerja secara langsung pada GnRH atau yang bekerja dalam hambatan sintesis maupun reseptor androgen. Apa pun yang dipilih tentunya perlu pula dipertimbangkan adanya efek samping obat (ESO) yang timbul pada penekanan jumlah testosterone pada pria pelaku kekerasan seksual. Sebagaimana mekanisme kerjanya yang menghambat jumlah testosterone secara bermakna, maka ESO yang akan timbul tentu dapat diprediksikan dari turunnya hormone estrogen dalam tubuh sebagai konsekuensi turunnya kadar testosteron. Beberapa penyakit seperti osteoporosis, peningkatan kadar kolesterol dan glukosa, munculnya penyakit jantung coroner serta gangguan fungsi dari otak sangat terkait dengan rendahnya hormone estrogen. Di beberapa Negara pernah diberlakukan pemberian kastrasi kimia ini bahkan sampai 5 tahun sehingga kemungkinan munculnya ESO sangat besar (Koo dkk, 2014).
World Federation of Societies of Biological Psychiatry menyarankan upaya hukum kebiri tidak hanya dilakukan secara farmakologi karena melibatkan obat, namun yang tidak dapat ditinggalkan adalah edukasi dan konseling oleh psikiatri sebagai upaya mengembalikan para pelaku hukum kebiri ke tengah masyarakat mengingat efek dari obat-obat ini dapat saja reversible setelah obat dihentikan pemberiannya kepada pelaku (Thibaut dkk, 2010). Artinya pelaku dapat kembali memiliki hasrat seksual yang harapannya dapat dikendalikan setelah menjalani hukum kebiri kimia selama masa waktu tertentu sesuai penilaian para klinisi. Sesuai dalam PP No 70 tahun 2020, yang akan diterapkan di Indonesia, kebiri kimia dilakukan selama jangka waktu 2 tahun dan diikuti upaya rehabilitasi jika sudah 2 tahun. Rehabiltasi yang dilakukan untuk pelaku antara lain rehabilitasi psikiatrik, social dan medic (PP 70 tahun 2020, pasal 18).
Penulis : Apoteker Ika Puspitasari, PhD (Ketua Program Studi Profesi Apoteker, Dosen Farmasi UGM)