KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Pasien yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19 melalui PCR, akan menjalani terapi antivirus.
Namun, sayangnya sampai saat ini belum ada satu pun obat antivirus yang spesifik untuk Covid-19.
“Sampai saat ini belum ada yang terbukti ampuh bisa mengobati Covid-19 dan belum ada yang bisa direkomendasikan,” ujar dosen Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt.
Hal ini dia sampaikan dalam diskusi Perilaku Hidup Sehat, Bijak Memilih Obat dan Suplemen Kesehatan Selama Pandemi Covid-19, yang digelar oleh PP KAGAMA, pada Sabtu (13/6/2020) secara daring.
Masyarakat, kata Zullies, sebelumnya telah mendengar klorokuin dan hidroksiklorokuin.
Beberapa waktu lalu sempat santer dibicarakan karena diduga ampuh menyembuhkan Covid-19.
Namun, Zullies menyatakan dua obat tersebut masih dalam proses uji klinis.
“Belum terbukti ampuh, tetapi sejauh ini pengobatan Covid-19 bisa dengan klorokuin dan hidroksiklorokuin. Obat ini hanya bisa diperoleh dengan resep dokter,” jelasnya.
Klorokuin dan hidroksiklorokuin mulanya adalah obat anti malaria yang digunakan juga untuk imunosupresan pada pasien penyakit autoimun, seperti Lupus, rematoid artritis, dan sebagainya.
Perlu diketahui dua obat tersebut masuk ke dalam golongan obat keras. Ada efek samping yang akan dialami pasien setelah meminumnya, seperti mual, gangguan irama denyut jantung, dan gangguan penglihatan.
“Tidak semua orang mengalami efek samping ini, tetapi jika mengalami akan sangat berat, terutama mereka yang punya riwayat penyakit jantung.
“Untuk itu, penggunaannya harus hati-hati. Perlu ada pemeriksaan EKG yang serius,” jelas dosen yang menekuni bidang medical and health science ini.
Selain klorokuin dan hidroksiklorokuin, ada pula avigan dan tamiflu. Keduanya belum terbukti ampuh secara klinis dan sama-sama tergolong obat keras.
Avigan adalah obat antiinfluenza dari Jepang. Sedangkan tamiflu adalah obat antiinfluenza yang digunakan untuk penyakit flu burung dan SARS.
Zullies memperkirakan antivirus yang kemungkinan ampuh untuk mengobati adalah antivirus yang pernah digunakan saat pandemi sebelumnya, seperti antivirus untuk SARS, MERS, Flu Burung, atau Flu Babi.
“Untuk pembuatan antivirus, setiap negara punya panduannya masing-masing berdasarkan pengalaman uji klinis dan ketersediaan obatnya,” ungkap alumnus Fakultas Farmasi UGM angkatan 1987 ini.
Untuk itu, upaya pencegahan Covid-19 harus diperhatikan dengan serius. Bila sudah mulai muncul gejala, Zullies menyarankan agar masyarakat segera mengobatinya.
Ada pun obat yang direkomendasikan untuk pencegahan Covid-19 pada tahap gejala antara lain obat paracetamol, yang berfungsi menurunkan demam dan nyeri. Kemudian obat antiradang, seperti ibuprofen, dan Na diklofenak.
“Obat untuk pengatasan gejala umumnya termasuk golongan obat bebas terbatas yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Namun pemilihannya harus disesuaikan dengan kondisi pasien, misal ada kontraindikasi atau tidak,” jelasnya.
Jika pasien Covid-19 memiliki penyakit penyerta, maka obatnya pun disesuaikan. Jadi pasien tetap diberikan obat penyerta saat mereka terkena Covid-19.
Beberapa orang berlomba-lomba mencari obat alternatif, bahkan ada toko online yang berani sudah mempromosikannya sebagai obat yang ampuh menangani Covid-19.
Zullies mengatakan, tidak salah masyarakat percaya dengan obat herbal sebagai pencegah Covid-19.
Namun, dirinya menyarankan agar masyarakat bisa dengan bijak memilih obat tersebut, minimal terdaftar di BPOM dan konfirmasikan lagi ke BPOM.
“Hati-hati dengan promosi obat yang terlalu bombastis, biasanya ini mencurigakan,” tutur lulusan Ehime University School of Medicine, Jepang itu.
Begitu juga ketika ada testimoni orang terhadap obat tersebut, setiap tubuh memiliki respon yang berbeda-beda terhadap obat.
“Jadi gunakan pembanding jika ingin lebih yakin. Namun, perlu diingat testimoni tidak bisa menjadi bukti kuat bahwa obat tersebut ampuh menyembuhkan,” tandasnya. (Kn/-Th)
Sumber : kagama.co