AMR disebut sebagai pandemic selain covid-19 yang akan menimpa semua negara di dunia cepat atau lambat. Jauh sebelum munculnya pandemic covid-19, seorang ilmuwan di Inggris sudah memprediksikan terjadinya pandemic kematian akibat AMR di seluruh dunia pada tahun 2050. Pada tahun 2014 Lord Jim O’Neill dan timnya menyampaikan sebuah kajian kepda pemerintah Inggris berjudul : “Antimicrobial Resistance: Tackling a crisis for the health and wealth of nations”. O’Neill, 2016 menyampaikan bahwa terjadinya kematian akibat AMR pada tahun 2050 sekitar 10 juta/tahun, sama dengan jumlah kematian akibat kanker di tahu 2050. Pada tahun 2020 tercatat ada kematian 1,3 juta jiwa yang disebabkan oleh AMR, maka kematian yang terjadi pada tahun 2050 merupakan beban pembiayaan dan tragedy kematian terbesar yang akan menimpa semua negara di dunia, tidak terkecuali negara-negara maju sekali pun. Pandemi AMR dianggap sebagai pandemic senyap karena tidak digembor-gemborkan oleh semua media, namun kita tidak mungkin menaruh harapan pada munculnya antimroba baru, mengingat sejak tahun 2005, sudah tidak ada lagi pabrik farmasi yang mau menginvestasikan produk antimikroba, mengingat cepat sekali terjadinya resitensi.
European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) pada tahun 2009 sesungguhnya sudah lebih dulu menyampaikan dokumen berjudul “The bacterial challenge: Time to react” yang berasal dari European Antimicrobial Resistance Surveillance network (EARS-Net). Saat itu hasil dari AMR baru berasal dari 3 mikroba yaiyu Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, and Staphylococcus aureus. Pada tahun 2022 Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) melaporkan terjadinya peningkatan resistensi di 76 negara di mana 42% E.coli resisten terhadap sefalosporin generasi 3 dan 35% terjadinya Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (WHO, 2022). Di rumah sakit di Indonesia telah terjadi peningkatan insidensi MDRO antara lain lebih dari 30% munculnya Klebsiella pneumonia dan E.coli ESBl, serta lebih dari 50% munculnya Carbapenem Resistant Acinetobacter baumanii (CRAB) Aanonym, 2023).
Bagaimana terjadinya AMR
Resistensi antimiroba merupakan proses alamiah yang terjadi karena seperti halnya semua makhluk hidup, mikroba juga berupaya bertahan hidup, melakukan mutase agar mampu hidup di lingkungan yang semakin sulit. Maka tidaklah mudah untuk menghentikan resistensi antimikroba, namun manusia dapat melakukan proses untuk memperlambat terjadinya pandemic AMR. Bagaimana mikroba membuat dirinya resisten setidaknya dapat melalui mekanisme berikut ini :
- Inaktivasi antimikroba oleh enzim penghidrolisis pada gugus aktif antimikroba seperti golongan beta lactam (enzim beta lactamase), golongan makrolida (esterase), fosfomisin (epoksidase).
- Inhibisi masuknya antimikroba kepada target misalnya dengan perubahan permeabilitas membrane, adanya pompa efluks.
- Inhibisi sintesis protein berupa mutase pada 23s RNA atau16s
Resistensi yang terjadi dapat merupakan resistensi intrinsic atau resistensi yang didapat dari gen sekitar. Mekanisme utama penyebaran resistensi terhadap antimikroba adalah dengan transfer materi genetik secara horizontal. Materi genetik yang ditransfer dalam bentuk plasmid, transposon, dan integron. Gen resisten kemudian dapat digabungkan ke kromosom bakteri dengan rekombinasi (Dzidic & Suskovic, 2008). Gen resistensi dapat ditransfer dengan berbagai mekanisme antara lain konjugasi, transformasi, dan transduksi (Livermore, 2003).
Penyebab AMR
Beberapa faktor dapat meningkatkan terjadinya AMR, diantaranya adalah penggunanan antimikroba yang berlebihan utamanya pada swamedikasi menggunakan antimikroba. Masyarakat cenderung menggunakan antimikroba pada kasus commoncold karena infeksi virus yang seharusnya tidak membutuhkan antimikroba. Di Yogyakarta organisasi profesi Kesehatan yaitu IDI, PDGI, IAI, PPNI, dan IBI menyatakan komitmen untuk tidak menggunakan antimikroba tanpa resep dokter/drg. Namun di kota-kota lain di Indonesia, antimikroba masih dengan mudah dapat dibeli tanpa resep dokter/drg. Selain itu proses perpindahan gen mikroba yang sudah resisten terkait erat dengan sanitasi dan hygiene, maka pengendalian dan pencegahan infeksi melalui cuci tangan tetap harus digalakkan.
Persepsi Masyarakat terhadap antimikroba juga masih perlu diedukasi, karena masih banyak Masyarakat yang berpendapat bahwa antibiotic dapat meningkatkan system imun, dapat mengurangi pegal-pegal, bisa menyembuhkan semua penyakit (Ferdiana dkk, 2021). Hasil survei terhadap apoteker di apotek di Yogyakarta pada tahun 2018 diperoleh data bahwa hanya 40 % apoteker yang setuju untuk ambil bagian pada kampanye dan edukasi masyarakat terkait AMR, walaupun apoteker menyadari bahwa dalam pengendalian AMR apoteker memiliki peran sangat penting (Asvinigita dkk, 2019). Apoteker yang bekerja di komunitas di apotek dan puskesmas harus terus mengedukasi masyarakat terkait pembatasan penggunaan antimikroba dan penggunaan antimikroba bijak. Kampanye penggunaan antimikroba bijak harus terus didengungkan mulai dari sekolah-sekolah, PKK dan dasawisma. Apoteker yang bekerja di rumah sakit terus berperan dalam PPRA bersama klinisi menggunakan antimikroba secara rasional.
One Health Sebagai Solusi
AMR adalah pandemic yang harus dihadapi dan melibatkan semua sektor baik kesehatan, lingkungan, peternakan, perikanan dan komunitas. Kerjasama semua bidang akan memperlambat terjadinya AMR. Pelarangan antibiotic as a growth promotor (AGP) pada pakan ternak sudah dilakukan di Indonesia menyusul peraturan di negara lain, merupakan langkah maju pengendalian AMR di sektor peternakan. Medicated feed yang diberikan kepada ternak harus memperhitungkan withdrawal time agar residu antimikroba yang ditemukan di daging atau telur semakin sedikit. Asosiasi Obat Hewan (ASOHI) dan Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Bersama-sama dengan Kementrian Pertanian mengawal AMR di sektor peternakan.
Konsep one health (WHO, 2021)
Pustaka :
O’Neill J. Review on Antimicrobial Resistance Antimicrobial Resistance: Tackling a crisis for the health and wealth of nations. London: Review on Antimicrobial Resistance. 2014. Available from: https://amr-review.org/sites/default/files/AMR%20Review%20Paper%20-%20Tackling%20a%20crisis%20for%20the%20health%20and%20wealth%20of%20nations_1.pd
European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) and European Medicines Agency (EMEA) Joint Working Group. ECDC/ EMEA Joint Technical Report: The bacterial challenge: Time to react. Stockholm: ECDC. 2009. Available from: http://ecdc.europa.eu/en/publications/Publications/0909_TER_The_Bacterial_Challenge_Time_to_React.pdf
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/antimicrobial-resistance
Anonim, Laporan PPRA RSA UGM, 2023.
- B. Dzidic S, Suskovic J, “Antibiotic Resistance Mechanisms in Bacteria: Biochemical and Genetic Aspects,” Food Technol Biotechnol, vol. 46, no. 1, pp. 11–21, 2008.
Livermore, “Bacterial Resistance: Origins, Epidemiology and Impact,” Clin. Infect. Dis., vol. 36, no. 1, pp.S11-23, 2003.
Ferdiana A, dkk, 2021. Community pharmacies, drug stores, and antibiotic dispensing in Indonesia: a qualitative study, BMC Public Health, 21, pp. 1800
Asvinigita LR, Puspitasi, I, Arikristina, S. Antibiotics stewardship practice among communitypharmacists in Indonesia: A cross-sectional survey. IJPR, vol. 11, issue 4, pp.176-181, 2019.
https://www.who.int/news/item/01-12-2021-tripartite-and-unep-support-ohhlep-s-definition-of-one-health
Penulis: Prof. Dr. apt. Ika Puspita Sari, M.Si.