Yogyakarta, 29 Desember 2025 — Sebagai wujud nyata dari pengabdian masyarakat dan jiwa kemanusiaan, salah satu dosen Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), apt. Muhammad Seftian, M.Pharm.Sci., turut serta menjadi relawan dalam Tim Respon Bencana Banjir akibat Siklon Tropis Senyar yang melanda wilayah Aceh dan Sumatera Utara baru-baru ini. Langkah ini menegaskan peran strategis dosen yang tidak hanya terbatas di dalam kelas atau ruang laboratorium, namun juga krusial di garda terdepan penanganan krisis bencana.
Penugasan kali ini dipusatkan di Kabupaten Aceh Utara, khususnya di wilayah Lhoksukon. Dalam misi tersebut, Seftian bertugas sebagai Koordinator Logistik Kefarmasian yang mengelola ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, serta Bahan Medis Habis Pakai (BMHP). Fokus utama tim adalah menghidupkan kembali fasilitas kesehatan publik, di mana pelayanan diarahkan ke Puskesmas Sampoiniet di Baktiya Barat dan Puskesmas Lhoksukon.
Tantangan yang dihadapi oleh Seftian yaitu terbatasnya akses dan keharusan adaptasi dengan cepat. Kondisi lapangan yang dinamis juga menuntut kesiapan fisik dan mental yang luar biasa. Jalur transportasi menuju lokasi sempat terputus akibat rusaknya jembatan Kuta Blang, memaksa tim untuk menyeberang menggunakan rakit (getek) demi memangkas waktu tempuh dan menghindari kemacetan belasan jam.
“Dalam kondisi bencana, kita tidak bisa memilih. Adaptasi cepat adalah kunci. Apa yang ada di depan mata, itu yang kita kerjakan,” ungkap Seftian. Persiapan logistik pribadi pun dilakukan secara mandiri dan taktis, mulai dari membawa pakaian cadangan untuk 10 hari guna mengantisipasi keterbatasan air bersih hingga memastikan keamanan barang bawaan dengan pembungkus plastik agar tetap kering di medan yang lembab.
Di lokasi pengungsian dan pemukiman terdampak, tim medis rata-rata melayani 30 hingga 40 pasien setiap harinya. Penyakit yang mendominasi meliputi Penyakit Tidak Menular (PTM) serta gangguan kulit seperti eksim, infeksi, dan scabies akibat kondisi lingkungan yang tidak higienis pasca-banjir. Meskipun terdapat kendala bahasa karena warga lokal dominan menggunakan bahasa daerah, antusiasme masyarakat untuk mendapatkan pengobatan tetap tinggi. Hal ini menjadi motivasi tambahan bagi tim relawan untuk terus memberikan pelayanan terbaik, berkolaborasi dengan tenaga teknis kefarmasian (TTK) setempat guna memastikan distribusi obat tetap berjalan meski ketersediaan stok terbatas.
Melalui pengalaman ini, Seftian berpesan kepada seluruh mahasiswa Farmasi UGM dan rekan sejawat mengenai pentingnya memiliki wawasan yang luas dan ketangguhan di segala situasi. “Apapun profesinya, semua pasti akan bermanfaat di lokasi bencana. Teman-teman Farmasi perlu lebih ‘main jauh’ untuk membuka wawasan, belajar kerjasama antar sejawat, sehingga memiliki resiliensi yang tinggi di keadaan apapun,” tutupnya.
Keterlibatan dosen Farmasi UGM sebagai relawan bencana ini selaras dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Sejahtera) melalui penyediaan layanan kesehatan dan kefarmasian bagi masyarakat terdampak bencana, SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim) melalui respon terhadap dampak kejadian iklim ekstrem seperti siklon tropis, serta SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan) melalui kolaborasi antara akademisi, tenaga kesehatan, dan masyarakat lokal. Aksi nyata ini mencerminkan komitmen perguruan tinggi dalam mendukung agenda untuk membangun ketahanan kesehatan masyarakat, mengurangi kerentanan kelompok terdampak, serta memastikan tidak ada pihak yang tertinggal dalam situasi krisis dan darurat.
Aksi ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi sivitas akademika UGM untuk terus berkontribusi bagi masyarakat, membuktikan bahwa dedikasi apoteker dan akademisi adalah pilar penting dalam ketahanan kesehatan nasional, terutama pada masa darurat. (Yassifa/HumasFA)


