Yogyakarta, 10 Oktober 2025 – Wabah penyakit menular beberapa dekade terakhir menggemparkan dunia hingga berkembang menjadi pandemi yang mematikan. Tingginya angka kematian akibat pandemi dalam beberapa tahun terakhir telah menyadarkan dunia akan pentingnya inovasi di bidang vaksin dan teknologi pendukungnya. Salah satu tantangan besar dalam pengembangan vaksin saat ini adalah sediaan vaksin masih dalam bentuk injeksi yang invasif dan menimbulkan efek nyeri saat digunakan. Hal ini perlunya adanya inovasi sediaan vaksin yang nyaman digunakan dan minim invasif, salah satunya sediaan patch transdermal. Dalam menghantarkan vaksin yang dapat memicu sistem imun ini, perlu adanya adjuvant atau penghantar vaksin yang mampu meningkatkan efektivitas sekaligus tetap aman digunakan. Adjuvant berperan penting dalam memperkuat respons imun tubuh terhadap antigen sehingga dapat memberikan perlindungan optimal terhadap penyakit. Menyadari urgensi tersebut, mahasiswa dari Fakultas Farmasi dan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan kolaborasi penelitian dengan mengeksplorasi potensi minyak Sacha Inchi dan kitosan sebagai kandidat adjuvant berbasis bahan alam.
Sacha Inchi (Plukenetia volubilis) dikenal sebagai yang kaya akan asam lemak esensial, terutama omega-3, omega-6, dan omega-9, serta antioksidan alami seperti vitamin E. Kandungan ini diyakini mampu mendukung fungsi imun sekaligus memberikan efek protektif pada tubuh. Sementara itu, kitosan, biopolimer alami yang diperoleh dari deasetilasi kitin (bahan penyusun cangkang krustasea), sudah banyak diteliti karena sifatnya yang biokompatibel, biodegradable, serta mampu meningkatkan penetrasi antigen dan merangsang respons imun mukosa.
Kolaborasi lintas disiplin ini bertujuan untuk mengombinasikan keunggulan minyak Sacha Inchi sebagai sumber alami bioaktif dengan kitosan sebagai carrier yang mampu meningkatkan stabilitas serta pengantaran antigen. Diharapkan, kombinasi keduanya dapat menghasilkan adjuvant berbasis bahan alam yang memiliki efektivitas tinggi, aman, dan berpotensi diaplikasikan pada berbagai jenis vaksin, termasuk vaksin modern yang mampu memerangi pandemi yang berulang.
Dalam penelitian awal, tim mahasiswa mahasiswa ini melakukan pembuatan formulasi dengan berbasis emulsi ganda A1/M/A2 dimana pada fase A1 berisi albumin, kemudian dilakukan pencampuran menggunakan surfaktan dan minyak sacha inchi. Hal ini menghasilkan formulasi emulsi A1/M yang kemudian dilakukan pengujian PSA untuk mengetahui ditsribusi partikel, potensial zeta, dan kestabilan emulsinya. Selanjutnya, dilakukan pembuatan A2 dengan menggunakan kitosan yang sudah disesuaikan pH-nya dan dihomogenkan dengan Hydroxypropyl Methylcellulose untuk menjadi basis gel yang akan dijadikan patch transdermal. Setelah patch terbentuk, dilakukan pengujian in vivo pada hewan uji selama 14 hari dan dilakukan pengambilan sampel kulit dan darah untuk dianalisis. Analisis ini dilakukan secara kuantitatif dengan metode ELISA untuk mengukur kadar IgG dan IgM.
Melalui riset ini, mahasiswa Farmasi dan Biologi UGM yang menjadi tim PKM-RE dengan diketuai oleh Alif Afzalurrohman (Biologi) dan beranggotakan Zahwa Khoirun Nisa (Biologi), Sekar Ayu Kusumawardani (Farmasi), Alvian Chesyar Burhanudin (Farmasi), dan Moh. Basofi Muzaky (Farmasi) berharap dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pengembangan vaksin berbasis bahan alami yang berdaya saing global. Inovasi ini juga sejalan dengan semangat kemandirian obat dalam memanfaatkan sumber daya hayati nusantara untuk mendukung sektor kesehatan. Penelitian ini membuka peluang lahirnya formulasi vaksin yang lebih aman, efektif, dan mendukung kemandirian pasien sehingga dapat membantu memperkuat ketahanan kesehatan masyarakat di masa depan.
Kolaborasi ini sangat relevan dengan beberapa poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 3 (Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan) dengan meningkatkan potensi efikasi vaksin melalui adjuvant baru yang mungkin lebih terjangkau dan aman serta menggunakan sumber daya lokal yang melimpah. Tidak hanya itu, aspek eksplorasi dan pengembangan teknologi yang inovatif dengan memanfaatkan bahan hayati domestik juga mendukung SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur) yang memperkuat kapasitas penelitian ilmiah dan industrialisasi farmasi mandiri. Terakhir, sifat penelitian yang interdisipliner, menyatukan ilmu Farmasi (formulasi) dan Biologi (sumber daya hayati), secara sempurna turut mewujudkan target SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan) tentang penguatan kolaborasi antar disiplin ilmu untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan secara efektif.
Penulis : Moh. Basofi Muzaky


