Farmasi UGM. Pandemi SARS-CoV2 yang melanda dunia saat ini merupakan momen sangat penting bagi kita semua untuk kembali membuka sejarah pandemi serupa di tahun 1918 yang disebabkan oleh flu Spanyol. Tidak ada catatan yang pasti mengenai jumlah korban, akan tetapi diperkirakan sekitar 500 juta orang terinfeksi, sama dengan seperempat populasi dunia saat itu dan mengakibatkan jumlah korban jiwa setidaknya 50 juta orang. Flu Spanyol menyebar mulai dari daratan Eropa, Amerika, Afrika hingga ke Asia (Tiongkok, Jepang, Hindia Belanda-sekarang dikenal dengan nama Indonesia). Tidak ada kepastian flu Spanyol termasuk kedalam kelompok virus yang mana, akan tetapi kolaborasi penelitian yang dilakukan antara Laboratorium Penelitian Unggas ARS USDA (Institut Patologi Angkatan Bersenjata) dengan Fakultas Kedokteran Mount Sinai-New York, berhasil menentukan urutan genetik strain flu Spanyol yang memiliki kesamaan dengan substrain avian H1N1. Berdasar hasil uji terhadap monyet dengan virus yang diciptakan kembali itu menunjukkan gejala klasik pandemik 1918.
Kita telah melupakan pandemi 1918 yang bersejarah tersebut dan kemudian tersentak lagi dengan peristiwa pandemi virus yang lain, seperti : marburg (1967), ebola (1976), nipah (1999), SARS (2002), H5N1 (2003), MERS (2012), H7N9 (2013), A(H1N1)pdm09 (2009), hingga kita sampai pada guncangan di era revolusi industri 4.0 dengan pandemi SARS-CoV 2 yang tidak kalah mematikan. Akankah generasi ke depan melupakan juga peristiwa ini?. Semoga sejarah mendidik kita untuk lebih siap menghadapi pandemi di masa depan.
COVID-19 secara dominan mempengaruhi jenis kelamin pria dan usia lanjut dengan komorbiditas, terutama penyakit paru-paru, jantung, arteri hipertensi (AH) dan diabetes mellitus (DM).
Berdasarkan pengalaman negara Tiongkok, 22% orang yang terinfeksi menderita penyakit serebrovaskular,12-24% AH dan 12-22 % DM. Orang yang mengonversi angiotensin karena pemakaian inhibitor enzim (ACE) tampaknya berisiko lebih tinggi mengalami bentuk infeksi yang parah secara klinis. Padahal, berdasarkan experimen in vitro, corona virus patogen pada manusia berikatan dengan sel target melalui angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) yang diekspresikan oleh sel epitel paru, usus, ginjal, dan pembuluh darah, dan ekspresi ACE2 meningkat pada pasien dengan DM terutama yang menggunakan obat inhibitor ACE atau angiotensin II tipe-1 reseptor bloker (ARB) dan pada pasien yang menggunakan thiazolidinediones dan ibuprofen.
Hipotesis lain menyebut, peran polimorfisme ACE2 terkait dengan diabetes mellitus, stroke, dan hipertensi memiliki kecenderungan genetik terhadap Infeksi SARS-CoV2. Informasi seperti itu menyebar dengan cepat menyebabkan kecemasan serius di antara penderita yang menggunakan inhibitor ACE dan ARB di seluruh dunia. Mereka kemudian meminta dokter untuk mengubah anti hipertensi yang mereka gunakan. Namun berkat reaksi cepat dari asosiasi ilmuwan kardiovaskular internasional, meyakinkan spesialis tentang tidak adanya alasan Evidence Base Medicine (EBM) untuk mengadopsi tindakan semacam itu hanya atas dasar dorongan hipotetis eksperimental dan memberitahu mereka tentang peningkatan risiko kardiovaskular apabila menghentikan penggunaan obat yang telah terdefinisi dan terbukti secara ilmiah bermanfaat.
Masalah lainnya adalah kemungkinan peran dipeptidyl peptidase-IV (DPP-4) pada infeksi corona virus yang tampaknya menjadi masalah penting terkait diabetes. Pada kenyataannya virus Corona dapat berikatan dengan reseptor DPP-4 manusia.
Kulcsar et al. menggunakan model tikus transgenik dengan DM tipe 2 yang mengekspresikan reseptor DDP-4 pada sel alveolar paru untuk mempelajari efek DM pada keparahan infeksi MERS-coronavirus. Dari penelitian itu diperoleh, selain dampak buruk yang lebih lama, secara signifikan ditemukan hubungan DM dengan penurunan berat badan sangat nyata dan peradangan dengan infiltrat makrofag yang secara klinis mirip dengan SARS-CoV2.
Tentu saja diperlukan penelitian lebih lanjut, terutama mengingat kemungkinan terapi manfaat yang diharapkan dari mengeksploitasi inhibitor DPP-4 pada penderita DM tipe 2 yang terinfeksi SARS-CoV2.
Kita harus mempertimbangkan, bagaimanapun, bahwa flu biasa (common flu) dan infeksi saluran pernafasan cukup umum selama musim flu, bahkan di luar darurat COVID-19 saat ini, terkait dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di antara orang-orang dengan usia tua dan atau penyakit kronis.
Penderita DM terbukti rentan terhadap infeksi penyakit, terutama yang disebabkan oleh bakteri dan virus yang mempengaruhi saluran nafas bawah. Dibalik mekanisme yang tidak diketahui saat ini, kadar glukosa tinggi memiliki peran yang cukup relevan berkaitan dengan komplikasi terkait diabetes kronis. Sebagaimana diketahui, kadar glukosa yang tinggi ini bertanggung jawab atas gangguan fungsi antibakteri neutrophil. Mikroangiopatik tampaknya terjadi di saluran pernapasan penderita DM, sehingga menghambat pertukaran gas di paru-paru. Beberapa laporan juga memperlihatkan kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi saluran pernapasan bawah yang disebabkan oleh mikroorganisme atipikal dan episode penumonia parah pada penderita diabetes mellitus (DM).
Penderita Diabetes di Indonesia
Data dari International Diabetes Federation (IDF) mencatat bahwa dari 220 negara di dunia, Indonesia menduduki peringkat ke 7 dalam jumlah penderita diabetes. Berdasarkan atlas diabetes di bawah ini diperkirakan pada tahun 2045 jumlah penderita diabetes akan mencapai 629 juta jiwa. Hampir setengan dari jumlah penderita tersebut berada di Asia, terutama India, China, Pakistan, dan Indonesia.
Penyebab kematian terbesar di dunia adalah penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular). Lebih dari 50% di antaranya berkaitan langsung dengan diabetes. Fakta mengerikan adalah terdapat 1 orang per 6 detik atau 10 orang per menit yang meninggal akibat diabetes.
Prevalensi diabetes Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini ada lebih 9 juta orang Indonesia yang menderita diabetes.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan selama tahun 2015 mengeluarkan 3,27 triliun rupiah untuk membiayai 3,32 juta kasus pengobatan terkait diabetes pada fasilitas kesehatan rujukan. Jumlah ini digunakan untuk mendanai pengobatan 813.373 pasien diabetes (Kompas, 9 April 2016).
Itu berarti setiap penderita diabetes membawa sekurangnya empat keluhan terkait diabetes. Keluhan terkait diabetes secara langsung dapat meliputi Obesitas, Hipertensi, Neuropati, Nefropati, Penyakit jantung koroner (PJK) dan Stroke. Dari keluhan tersebut diketahui betapa riskan penderita diabetes bila terinfeksi SARS-CoV 2, baik bagi yang hanya menderita diabetes maupun yang sudah terkomplikasi. Hal ini dikarenakan progresivitas diabetes secara pasti akan mengakibatkan komplikasi seperti yang tersebut di atas.
Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik dapat terjadi baik pada diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Pada kondisi ini telah terjadi kerusakan nefron. Nefron merupakan bagian ginjal yang berfungsi menyaring limbah dan darah. Dengan pemeriksaan kimia patologi akan sulit menentukan terjadinya tahap awal nefropati diabetik. Kesulitan itu dikarenakan pemeriksaan kimia patologi untuk mengetahui fungsi ginjal didasarkan pada pengukuran kadar kreatinin darah, sedangkan ginjal mengeluarkan kreatinin jika 50% atau lebih nefron telah mengalami kerusakan (Nilai normal kreatini serum= 0,5 – 1,5 mg/dL). Ketika kreatinin telah terdeteksi dalam darah maka itu berarti diabetes telah terhubung dengan Gagal Ginjal Kronis (GGK), yang mengakibatkan produksi limfosit absolut akan menurun (Nilai normal limfosit absolut 1,5-4,0 x103/uL) .
Dr. Suresh Kumar (Infection Disease Consultant-Hospital Sungai Buloh, Malaysia) melaporkan bahwa pada penderita SARS-CoV 2 tanpa DM mengalami penurunan limfosit absolut (Clinical Updates on Covid-19 No.1/2020). Penurunan limfosit absolut ini tentu akan meningkatkan fatality risk bagi penderita diabetes yang mengalami SARS-CoV 2. Mengkonsumsi berbagai vitamin dan suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh dalam kondisi seperti ini tidak banyak manfaatnya, dikarenakan penurunan limfosit selain karena tekanan covid-19 juga didukung dengan fungsi ginjal yang buruk.
Diabetes, Hipertensi dan Jantung
Diabetes meningkatkan risiko hipertensi dua kali lebih tinggi dibanding orang biasa. Hipertensi biasa muncul pada penderita diabetes menyusul terjadinya proteinuria, sebagai pertanda terjadinya kerusakan filtrasi pada ginjal. Keadaan ini bisa ditegaskan dengan pemeriksaan urinalisis dengan ditemukannya protein dalam urine.
Sebagaimana SARS dan MERS, SARS-CoV 2 memiliki protein spike (S) yang dapat menempel pada reseptor Angiotensin Converting Enzym2 (ACE2) yang keberadaannya tersebar di paru, usus, dinding pembuluh darah, jantung dan ginjal.
Penderita diabetes dengan hipertensi yang menggunakan obat-obatan golongan inhibitor ACE dan Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) akan meningkatkan kadar ACE 2 (angiotensin 1-7) yang berguna sebagai regulator tekanan darah.
Pada penderita SARS-CoV 2, protein spike (S) berikatan dengan reseptor ACE 2 yang menyebabkan jumlah ACE 2 (angiotensin 1-7) menurun sehingga dapat mengakibatkan organ dan jaringan yang memiliki reseptor ACE 2 mengalami peningkatan tekanan tidak terkendali akibat terjadinya vasokonstriksi dan berakhir pada cedera parah organ/jaringan.
Hal ini juga berdampak buruk pada ginjal yang memiliki reseptor ACE2. Filtrasi glomerulus terdiri atas pembuluh darah yang kecil (kapiler). Tekanan darah yang tinggi akan merusak kapiler sehingga ginjal menjadi bocor, protein (albumin) akan keluar dan akan terdeteksi dalam urine (proteinuria).
Sedangkan pada jantung, penurunan kadar ACE 2 akan mengakibatkan jantung mengalami hipertrofi (pembesaran). Pada infeksi covid-19 jantung juga mengalami myocarditis dan perpanjangan interval QT, sebagaimana yang dilaporkan Dr. Suresh Kumar dalam Clinical Updates on Covid-19 No.1/2020. Pemanjangan interval QT akan memasuki fase yang berbahaya bila > 470 msec (untuk Pria) dan > 480 msec (untuk wanita), karena fase ini termasuk kategori very long QT yang dapat berakhir dengan SCD (Sudden Cardiac Death).
Mikroangiopati tampaknya terjadi di saluran pernapasan penderita DM, suatu komplikasi yang mengakibatkan kerusakan mikrovaskular sehingga menghambat pertukaran udara di paru.
Kerusakan mikrovaskular ini akan lebih parah bila penderita diabetes mengalami serangan pneumonia akut akibat terinfeksi covid-19. Ini dikarenakan terjadinya penurunan kadar ACE 2 yang berakhir sebagai ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome-Sindroma Kesulitan Pernafasan Akut).
SARS-CoV 2 benar-benar memberikan ancaman kegagalan fungsi berbagai organ penting bagi penderita DM.
Beberapa Rekomendasi
Pengalaman dari berbagai negara yang mengalami pandemik SARS-CoV 2, baik di Wuhan (Tiongkok) dari mana covid-19 berasal hingga Eropa dan Amerika, semua sepakat mengatakan bahwa pandemik covid-19 sangat sulit dihadapi oleh semua penderita DM. Sehingga tidak ada cara lain selain mentaati anjuran dari pihak berwenang dan nasihat profesional dari dokter, seperti Social Distancing, Physical Distancing, tetap tinggal di rumah selama masa pandemik, hindari stress, konsumsi obat yang direkomendasikan oleh dokter secara rutin dan tepat waktu sesuai anjuran dan selalu memastikan terbukanya akses konsultasi online atau via WA kepada dokter dan apoteker agar terus mendapatkan arahan untuk meningkatkan kualitas kesehatan.
Selain itu rekomendasi yang berkaitan dengan konsumsi herbal dimana terbukti aman dan berguna untuk meningkatkan derajad kesehatan penderita DM, diantaranya:
Curcumin
Diabetes Mellitus Tipe 1 (T1DM) merupakan sindroma metabolik disebabkan autoimun yang secara selektif dan spesifik menyebabkan penghancuran sel beta pancreas hingga tidak lagi mampu menghasilkan insulin.
Sedangkan Diabetes Mellitus Tipe 2 (T2DM) merupakan proses inflamasi tingkat rendah (low grade inflammation) yang bersifat kronis dengan melibatkan begitu banyak sitokine pro-inflamasi. Dinamakan low-grade inflammation karena inflamasi jenis ini tidak kita rasakan akan tetapi terjadi secara terus menerus dan mengakibatkan kerusakan organ atau jaringan.
Dalam fase klinis selanjutnya, baik T1DM maupun T2DM mengakibatkan berbagai komplikasi yang serupa, seperti: retinopati diabetik, nefropati diabetik dan penyakit kardiovaskular. Ada banyak bukti menunjukkan bahwa sitokine proinflamasi terlibat dalam komplikasi tersebut. Sitokine inflamasi yang lebih tinggi biasa ditemukan dalam plasma penderita diabetes. Pemeriksaan klinik/diagnostik yang dapat menandai terjadinya inflamasi pada penderita diabetes ditunjukkan dengan peningkatan kadar hs-CRP (Nilai <1% resiko kecil, 1,0 – 3,0 mg/L resiko sedang, >3,0 mg/L resiko tinggi terhadap terjadinya komplikasi).
Terlepas dari manfaat yang diperoleh dengan terapi pengendalian kadar glukosa dan tekanan darah dengan blockade system RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosteron), tetap saja cara ini tidak memberikan perlindungan yang sempurna. Diperlukan suatu terapi yang dapat menghambat terjadinya low-grade inflammation agar progresifitas kearah nefropati diabetik, retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular dapat diperlambat. Itu sebabnya curcumin dipromosikan untuk maksud tersebut dikarenakan manfaatnya serta perannya yang begitu banyak terlibat dalam mempengaruhi mekanisme pensinyalan sitokine, termasuk menekan sitokine pro-inflamasi untuk memberi perlindungan yang memadai terhadap organ dan jaringan dari dampak buruk inflamasi.
Seperti yang terlihat pada gambar di atas, curcumin dapat menurunkan sitokine inflamasi MCP, MIP, IL-2, IL-6, IL-B, TNF-α, MaIP, IL-1, IL-5, IL-12 dan IL-18
Curcumin dan Nefropati Diabetik
Sitokine inflamasi IL-1, IL-6, IL-18 dan TNF-α berperan dalam pathogenesis nefropati diabetik. Pada nefropatik diabetes, ekspresi interleukin-1 (IL-1) di ginjal meningkat yang berakibat meningkatnya sintesis inter cellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) sebagai suatu pertanda terjadinya kerusakan pada sel endotel glomerulus. Keadaan ini juga ditandai dengan meningkatnya kadar ureum toksik di ginjal.
Kadar serum IL-6 secara signifikan lebih tinggi pada seseorang dengan nefropati diabetik. Cedera ginjal yang dimediasi IL-6 mengakibatkan terganggunya permeabilitas sel-sel endotel dan secara klinis ditandai dengan meningkatnya albuminurea (proteinurea).
IL-18 merupakan sitokin inflamasi kuat yang menginduksi IFN-γ yang pada gilirannya menginduksi ekspresi reseptor kemokin fungsional dalam sel mesangial. Selain itu kemunculan sitokin IL-18 mengarah pada produksi sitokin inflamasi lainnya (IL-1 dan TNF-α, meningkatkan ICAM-1, serta memicu apoptosis sel endotel glomerulus. Peningkatan IL-18 terjadi di dalam epitel tubular ginjal. Kadar IL-18 serum dan urine meningkat pada seseorang dengan nefropati diabetik. Keadaan ditandai dengan meningkatnya kadar microalbumin dalam urine.
TNF-α bersifat sitotoksik terhadap sel-sel ginjal dan dapat menginduksi cedera ginjal serta menyebabkan perubahan aliran darah intraglomerular dan laju filtrasi glomerular (GFR) sebagai akibat dari ketidakseimbangan hemodinamik antara mediator vasokonstriktif dan vasodilatasi.
Curcumin dan Kardiovaskular
Faktor risiko penting untuk aterosklerosis adalah resistensi insulin, obesitas dan dislipidemia. Resistensi insulin terkait dengan peningkatan tumor nekrosis factor-α (TNF-α) yang bertindak sebagai antagonis pensinyalan reseptor insulin.
Pemicu potensial yang lain dari aterogenesis adalah angiotensin II yang menginduksi sel endothelial IL-6. Cedera atau disfungsi sel endotel merupakan salah satu penyebab terjadinya aterosklerosis.
Dari uraian ini dapat kita lihat peran curcumin dalam memodulasi sitokin inflamasi IL-1, IL-6, IL-18 dan TNF-α. Diharapakan peran penting curcumin ini terus dieksplorasi agar dapat lebih banyak menolong penderita diabetes terhindar dari nefropati diabetik dan penurunan fungsi kardiovaskular. Terhindar dari kedua ancaman penyakit yang sangat berbahaya ini (nefropati diabetik dan disfungsi kardiovaskular) akan dapat menghindarkan penderita diabetes dari komplikasi yang lain. Itulah mengapa diabetes mellitus (DM) disebut sebagai “the Mother of all diseases”.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, penderita DM sangat rentan terhadap infeksi bakteri maupun virus karena kadar glukosa nya yang tinggi. Tingginya kadar glukosa ini menyebabkan kerusakan sel-sel endotel dan jaringan di berbagai jaringan dan organ serta mengganggu fungsi antibakteri dari neutrophil.
Apabila terinfeksi SARS-Cov-2, penderita DM akan mengalami kondisi yang sangat buruk dibandingkan penderita tanpa DM. Virus ini akan menurunkan kadar limfosit absolut yang akan meningkatkan resiko yang lebih fatal karena proses inflamasi kronis yang terjadi pada penderita diabetes yang secara progresif menuju ke arah disfungsi beberapa organ termasuk perjalanan penyakit menuju gagal ginjal kronis.
Sementara dalam kaitan dengan hipertensi, SARS-CoV-2 yang menyebabkan penurunan ACE-2 ini akan meningkatkan tekanan darah, sehingga di beberapa organ tekanan darah menjadi tidak terkendali. Ini mengakibatkan terjadinya cedera sejumlah organ yang memiliki ACE-2. Tekanan darah yang meningkat juga akan merusak pembuluh darah kapiler di gromelurus dan berakibat bocornya ginjal. Di bagian lain penurunan ACE-2 akibat infeksi virus ini selain menyebabkan pembengkakan jantung juga memperpanjang interval QT yang mengakibatkan sudden cardiac death.
Oleh karena itu, sangat disarankan agar penderita DM mematuhi dengan ketat anjuran pemerintah untuk melaksanakan protokol Covid-19 yaitu dengan social distancing, physical distancing serta tetap tinggal di rumah selama wabah SARS-CoV-2 masih berlangsung.
Selain mematuhi ketat aturan tersebut, penderita DM disarankan untuk menggunakan curcumin guna membantu mengatasi pelemahan beberapa sistem termasuk nefropati diabetic dan disfungsi kardiovaskuler.
Curcumin dalam hal ini berfungsi sebagai benteng dari kemungkinan terjadinya badai sitokin, dengan jalan mempengaruhi penanda sinyal sitokine inflamasi. Dengan jalan ini, maka curcumin sekaligus memberikan perlindungan terhadap organ dan jaringan dari dampak buruk inflamasi.
Bagi penderita Diabetes Tipe 2 (T2DM) terapi pengontrolan kadar glukosa dan tekanan darah saja tidak memberikan perlindungan yang sempurna. Mereka membutuhkan terapi yang dapat menghambat terjadinya low-grade-inflammation agar progresifitas kea rah nefropati diabetic dan penyakit kardiovaskuler dapat diperlambat. Kemampuan curcumin dalam mempengaruhi mekanisme pensinyalan sitokine, akan memberikan perlindungan yang memadai terhadap organ dan jaringan dari dampak buruk inflamasi. Dengan begitu, curcumin memberikan perlindungan lengkap bagi penderita diabetes mellitus (DM).
Penulis : Drs apt Julian Afferino, MS (Alumnus Fakultas Farmasi UGM, CEO Pharma Care Consulting); Dra. apt. Tresnawati (Alumnus Fakultas Farmasi UGM, Harian Suara Merdeka, Ketua Bidang Hubungan Masyarakat PP IAI)
Sumber Gambar Depan : Liputan6.com
Referensi:
- Vijaya, Julian Afferino T: Pemeriksaan Diagnostik Praktis Untuk Apoteker,Pengantar EKG-Seri Farmasi Klinik, PCC-Pharma Care Consulting, Yogyakarta, 2018.
- Vijaya, Julian Afferino T: Pemeriksaan Klinik Praktis Untuk Apoteker, Darah Lengkap-Seri Farmasi Klinik, PCC-Pharma Care Consulting, Yogyakarta,2017.
- Sandro Gentile, Felice Strolo, Antonio Cerielo, COVID-19 infection in Italian people with diabetes: Lessons learned for our future (an experience to be used), Diabetes Research and Clinical Practise 162 (2020). https://doi.org./10.1016/j.diabres.2020.108137
- Wan Y, Shang J, Graham R, et al. Receptor recognition by novel coronavirus from Wuhan: an analysis based on decadelong structural studies of SARS. J Virol 2020. https://doi.org/ 10.1128/JVI.00127-20. published online Jan 29.
- Hulme KD, Gallo LA, Short KR. Influenza virus and glycemic variability in diabetes: a killer combination?. Front Microbiol 2017;8:861. https://doi.org/10.3389/fmicb.2017.00861. Published 2017 May 22.
- Perrone LA, Plowden JK, Garcı´a-Sastre A, et al. H5N1 and 1918 pandemic influenza virus infection results in early and excessive infiltration of macrophages and neutrophils in the lungs of mice. PLoS Pathog 2008;4. https://doi.org/10.1371/ journal.ppat.100011 e1000115.
- Kulcsar KA, Coleman CM, Beck SE, Frieman MB. Comorbid diabetes results in immune dysregulation and enhanced disease severity following MERS-CoV infection. JCI Insight 2019;4 131774.
- Fang L, Karakiulakis G, Roth M. Are patients with hypertension and diabetes mellitus at increased risk for COVID-19 infection?. The Lancet 2020. https://doi.org/ 10.1016/S2213-2600(20)30116-8. Published: March 11, 2020
- Imai Y, Kuba K, Penninger JM. Angiotensin-converting enzyme 2 in acute respiratory distress syndrome.Cell Mol Life Sci. 2007 Aug; 64(15):2006-12. https://doi.org/10.1007/s00018-007-6228-6
- Kee, J. : Laboratory and Diagnostic Test with Nursing Implications, 5 th Churchill alivingstone, Edinburgh, 1985
- Tsalamandaris S, Antonoupoulos AS, Oikonomou E, Papamikroulis GA, Vogiatzi G, Papaioannou S, Deftereos S, Tousoulis D. The Role of Inflammation in Diabetes: Current Concepts and Future Prespectives Eur Cardiol. 2019 https://ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6523054
- Navarro JF, Gonzales, Fernandez CM. The Role of Inflammatory Cytokines in Diabetic Nephropathy. JASN 2008. https://jasn.asnjournals.org/content/19/3/433
- Mehra VC, Ramgolam VS, Bender JR. Cytokines and cardiovascular disease. Journal of Leukocyte Biology, Pub July 2005 https://doi.org/10.1189/jlb.0405182