Obat merupakan salah satu komponen esensial dalam sistem pelayanan kesehatan yang berperan penting dalam pencegahan, pengobatan, dan pemulihan penyakit. Penggunaan obat yang tepat dapat meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat. Namun, penggunaan obat yang tidak sesuai dosis, cara, maupun indikasinya dapat menimbulkan efek samping yang merugikan, bahkan membahayakan kesehatan (BPOM, 2023; Kemenkes RI, 2015).
Dalam praktik pengobatan, terdapat dua pendekatan utama yang digunakan masyarakat, yaitu obat kimia (konvensional) dan obat herbal (tradisional). Obat kimia umumnya merupakan hasil sintesis senyawa aktif yang telah melalui tahapan uji praklinis dan uji klinis untuk memastikan keamanan, efektivitas, dan kualitasnya. Obat jenis ini diatur secara ketat oleh otoritas kesehatan dan memiliki standar produksi yang tinggi.
Sementara itu, obat herbal berasal dari bahan alami, terutama tumbuhan, yang telah digunakan secara turun-temurun dalam pengobatan tradisional. Masyarakat sering kali menganggap obat herbal lebih aman karena berasal dari alam. Namun, tidak semua obat herbal aman digunakan tanpa pengawasan. Beberapa jenis tanaman obat dapat menimbulkan efek toksik bila dikonsumsi secara berlebihan, tidak sesuai cara pengolahan, atau berinteraksi dengan obat medis (RSUI, 2021).
Di Indonesia sendiri, sebuah survei menyebutkan bahwa sekitar 45% masyarakat lebih memilih obat herbal daripada obat kimia, didasari oleh alasan ekonomis dan persepsi bahwa obat alami lebih aman. Namun, persepsi ini perlu dikaji kembali karena banyak produk herbal yang belum melalui uji efektivitas dan mengandung bahan kimia obat (BKO) ilegal.
Berdasarkan hal ini, artikel ini bertujuan untuk membandingkan aspek keamanan antara obat kimia dan obat herbal berdasarkan fakta dan sudut pandang ilmiah. Dengan pemahaman yang komprehensif, diharapkan masyarakat dapat menggunakan obat secara lebih bijak, rasional, dan bertanggung jawab demi menjaga kesehatan jangka panjang.
Obat kimia merupakan obat yang mengandung bahan kimia aktif hasil sintetis atau semi sintetis yang telah terbukti secara ilmiah memiliki efek teurapeutik. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2023, proses produksi obat kimia melibatkan serangkaian proses yang ketat, meliputi penemuan dan sintesis bahan aktif, uji praklinik pada hewan, uji klinik pada manusia, sampai formulasi dan skala produksi sesuai standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Beberapa contoh obat kimia ini yang umum ditemui di fasilitas pelayanan kesehatan, antara lain parasetamol, amoksilin, omeprazole, digoksin, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, obat herbal merupakan produk yang berasal dari sumber daya alam seperti tumbuhan, hewan, jasad renik, dan mineral, yang telah digunakan secara turun-temurun di Indonesia (BPOM RI, 2023) Obat herbal digunakan untuk memelihara, meningkatkan kesehatan, dan mencegah penyakit berdasarkan bukti secara empiris. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan masyarakat bahwa obat herbal lebih aman dan memiliki efek samping yang minimal dibandingkan obat kimia, karena berasal langsung dari alam. Salah satu contoh obat herbal adalah jamu, yaitu obat tradisional yang bahan-bahannya tidak diwajibkan melalui proses standardisasi. Selain itu, terdapat obat herbal terstandar, yaitu produk dengan bahan baku yang telah melalui proses standardisasi, seperti Tolak Angin dan Diapet. Ada pula fitofarmaka, yaitu obat herbal yang telah dibuktikan efektivitas dan keamanannya melalui uji praklinik dan klinik, contohnya Stimuno.
Meskipun penggunaan obat kimia dan obat herbal meluas, kedua obat tidak dapat diedarkan secara bebas tanpa pengawasan yang ketat. Di indonesia regulasi obat kimia dilakukan oleh BPOM dengan mekanisme registrasi, pengawasan mutu, dan perizinan edar. Salah satu peraturan terkait adalah Peraturan Badan POM Nomor 25 Tahun 2023 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat Bahan Alam.
Obat kimia dan herbal memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam hal keamanan dan efektivitas. Obat kimia dan penggunaannya berdasarkan indikasi pasien seperti yang dijelaskan dalam buku farmakoterapi dengan penulis Dipiro et al. (2023), obat kimia dirancang dengan dosis yang terukur dan telah melalui uji klinis ketat untuk memastikan keamanan dan khasiatnya. Efeknya cenderung lebih cepat, sehingga cocok untuk penanganan kondisi akut. Namun, obat kimia juga berpotensi menimbulkan efek samping seperti gangguan hati, ginjal, atau reaksi alergi, serta risiko ketergantungan pada jenis obat tertentu seperti analgesik opioid atau obat penenang (Katzung & Trevor, 2021). Selain itu, interaksi antarobat kimia harus diperhatikan karena dapat memengaruhi efektivitas terapi.
Di sisi lain, obat herbal sering dianggap lebih aman karena berasal dari bahan alami dan memiliki efek samping yang relatif lebih ringan. Namun, menurut World Health Organization (WHO, 2019), salah satu tantangan utama obat herbal adalah kurangnya standardisasi dosis dan minimnya uji klinis yang memadai. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa meskipun herbal memiliki manfaat tertentu, dosisnya sulit dipastikan sehingga efektivitasnya bisa bervariasi. Selain itu, herbal dapat berinteraksi dengan obat kimia, misalnya St. John’s wort yang mengurangi efektivitas antidepresan atau antikoagulan (Barnes et al., 2007). Hal ini menunjukkan bahwa “alami” tidak selalu berarti “aman” tanpa pengawasan medis.
Kesimpulannya, baik obat kimia maupun herbal memiliki tempatnya masing-masing dalam terapi medis. Obat kimia unggul dalam penanganan kondisi serius dengan bukti ilmiah kuat, sementara herbal dapat menjadi pendamping untuk terapi jangka panjang dengan efek samping minimal. Namun, penting untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan sebelum mengkombinasikan keduanya guna menghindari risiko interaksi atau efek merugikan. Dengan demikian, pemilihan obat harus didasarkan pada pertimbangan evidence-based medicine, bukan sekadar preferensi pribadi terhadap “bahan alami” atau “kimia.”
Penggunaan obat, baik yang berasal dari bahan kimia sintetis maupun dari tanaman obat (herbal), telah menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari manusia. Obat kimia, seperti antibiotik, telah banyak menyelamatkan nyawa sejak ditemukan, namun penggunaannya yang berlebihan tanpa indikasi yang tepat menimbulkan risiko serius. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) kini menjadi salah satu ancaman kesehatan global paling signifikan. Pada tahun 2019 saja, resistensi bakteri menjadi penyebab langsung 1,27 juta kematian dan turut berkontribusi terhadap 4,95 juta kematian di seluruh dunia (WHO, 2024). Contoh nyata terjadi selama pandemi COVID-19, di mana meskipun hanya sekitar 8% pasien mengalami infeksi bakteri, sekitar 75% pasien diberi antibiotik sebagai tindakan pencegahan, yang mempercepat peningkatan kasus resistensi (WHO, 2024).
Di sisi lain, penggunaan obat herbal juga tidak sepenuhnya bebas risiko. Salah satu kasus yang paling dikenal adalah tragedi di Belgia pada awal 1990-an, ketika lebih dari 100 pasien mengalami gagal ginjal setelah mengonsumsi suplemen penurun berat badan yang mengandung Aristolochia fangchi, tanaman yang ternyata memiliki kandungan asam aristolochic bersifat nefrotoksik dan karsinogenik. Selain itu, banyak produk herbal yang ditemukan terkontaminasi logam berat seperti timbal, merkuri, dan arsenik, yang dapat menyebabkan efek toksik serius seperti kerusakan ginjal, gangguan sistem saraf, dan peningkatan risiko kanker (Luo et al., 2021). Sebuah studi di Nigeria juga menunjukkan bahwa meskipun 82,4% responden percaya bahwa obat herbal aman, 12,6% dari mereka mengalami efek samping setelah menggunakannya (Awedole et al., 2013). Data ini menekankan pentingnya pendekatan berbasis bukti dan regulasi yang ketat dalam penggunaan baik obat kimia maupun herbal, guna memastikan keamanan pasien.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh H. Ambo Lau et al. (2019), diketahui bahwa sebanyak 65,2% responden memiliki pengetahuan mengenai obat herbal, sementara 62,1% mengetahui tentang obat kimia. Dengan demikian, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap obat herbal cenderung lebih tinggi. Tingginya pengetahuan ini diduga dipengaruhi oleh kebiasaan yang diturunkan dari orang tua dan keluarga dalam menggunakan obat-obatan tradisional.
Para ahli dan pengembang fitofarmaka menyatakan bahwa obat herbal merupakan warisan budaya yang memiliki potensi terapeutik yang besar, khususnya dalam pencegahan penyakit dan pengelolaan gejala ringan (Munaeni et al., 2022). Namun demikian, para ahli juga menekankan bahwa tidak semua obat herbal aman, terutama jika belum mengalami proses standardisasi atau digunakan secara tidak tepat. Kandungan zat aktif dalam obat herbal dapat bervariasi tergantung pada kondisi tanaman, metode pengolahan, serta dosis yang digunakan, yang sering kali tidak terukur dengan jelas.
Sedangkan, obat kimia sintetis memiliki keunggulan berupa kandungan zat aktif yang pasti, dosis yang terukur, serta mekanisme kerja yang telah diketahui secara jelas. Obat jenis ini telah melewati tahapan uji ilmiah yang ketat, sehingga informasi mengenai efektivitas (efikasi) dan keamanannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa obat kimia berpotensi menimbulkan efek samping, terutama jika digunakan dalam jangka panjang atau tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
Berdasarkan tinjauan farmasi kesehatan, baik obat kimia maupun herbal memiliki kelebihan dan keterbatasan masing-masing dalam hal keamanan dan efektivitas. Obat kimia, dengan dosis terukur dan uji klinis yang ketat, terbukti efektif dalam penanganan kondisi akut dan penyakit serius. Namun, risiko efek samping, interaksi obat, dan potensi ketergantungan tetap menjadi tantangan. Sementara itu, obat herbal sering dianggap lebih aman karena berasal dari bahan alami, tetapi kurangnya standardisasi dosis, minimnya uji klinis, serta potensi kontaminasi logam berat atau interaksi dengan obat lain dapat menimbulkan risiko kesehatan yang serius. Oleh karena itu, penggunaan obat secara rasional dan berbasis bukti penting untuk diterapkan.
Pemilihan antara obat kimia dan herbal harus didasarkan pada pertimbangan ilmiah, kondisi pasien, serta pengawasan tenaga kesehatan. Obat kimia lebih unggul untuk terapi akut dan penyakit berat, sedangkan herbal dapat berperan sebagai pendukung terapi jangka panjang dengan efek samping minimal, asalkan telah terstandarisasi. Masyarakat perlu diedukasi untuk tidak terjebak dalam persepsi bahwa “alami selalu aman” atau “kimia selalu berbahaya,” melainkan memahami bahwa keamanan obat bergantung pada penggunaan yang tepat, dosis sesuai, dan pemantauan medis.
Penulis: Tim Pengelolaan Obat Klinika Farmasi UGM
REFERENSI
Awodele, O., Amagon, K. I., Usman, S. O., & Obasi, P. C. (2014). Safety of herbal medicines use: case study of ikorodu residents in Lagos, Nigeria. Current drug safety, 9(2), 138–144.
Barnes, J., Anderson, L. A., & Phillipson, J. D. (2007). Herbal Medicines (3th ed.). Pharmaceutical Press.
BPOM RI. (2023). Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 7 Tahun 2023 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat Kuasi. Kementerian Kesehatan RI.
BPOM RI. (2023). Manfaat Terapi yang Optimal Diperoleh dari Penggunaan Obat yang Tepat. Diakses dari: https://www.pom.go.id
BPOM RI. (2023). Peraturan BPOM Nomor 25 Tahun 2023 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat Bahan Alam. Hukum Dan HAM RI, 11, 1–16.
DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L. and Ellingrod, V. L. (2023). Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Twelfth Edition. 12th edn. New York: McGraw Hill.
Katzung, B. G., & Trevor, A. J. (2021). Basic & Clinical Pharmacology (14th ed.). McGraw-Hill.
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Pentingnya Penggunaan Obat Secara Rasional. Diakses dari: https://farmalkes.kemkes.go.id/2015/07/pentingnya-penggunaan-obat-secara-rasional
Luo, L., Wang, B., Jiang, J., Fitzgerald, M., Huang, Q., Yu, Z., Li, H., Zhang, J., Wei, J., Yang, C., Zhang, H., Dong, L., & Chen, S. (2021). Heavy Metal Contaminations in Herbal Medicines: Determination, Comprehensive Risk Assessments, and Solutions. Frontiers in pharmacology. https://doi.org/10.3389/fphar.2020.595335.
Munaeni, W., Mainassy, M.C., Puspitasari, D., Susanti, L., Endriyatno, N.C., Yuniastuti, A., Wiradnyani, N.K., Fauziah, P.N., Achmad, A.F., Rohmah, M.K. dan Rahaman, I.F. (2022). Perkembangan Dan Manfaat Obat Herbal Sebagai Fitoterapi. Tohar Media.
World Health Organization (WHO). (2019). WHO Global Report on Traditional and Complementary Medicine. WHO Press.
WHO. (2024). Antimicrobial resistance. Diakses dari: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/antimicrobial-resistance
WHO. (2024). WHO reports widespread overuse of antibiotics in patients hospitalized with COVID-19. Diakses dari: https://www.who.int/news/item/26-04-2024-who-reports-widespread-overuse-of-antibiotics-in-patients–hospitalized-with-covid-19