Pertambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan dari hari ke hari menjadikan banyak pihak ingin berpartisipasi dalam upaya penganan. Baik secara berkelompok maupun individu, hingga mereka yang tidak berlatar belakang medis sekalipun.
Keterlibatan itu sah-sah saja, dan tidak ada larangan. Hanya saja partisipasi mereka harus dapat dipertanggungjawabkan. Demikian pula keterlibatan dalam upaya penyembuhan, mestinya segala produk ramuan yang dihasilkan harus ada bukti-bukti nyata yang bisa diterima secara nalar atau ilmiah.
Belum lama viral terkait kalung eucalyptus, kini menyusul kasus produk herbal Hadi Pranoto. Fenomena-fenomena tersebut tentu menghadirkan banyak tanggapan terutama dari kalangan akademisi, utamanya dari kalangan kedokteran dan farmasi.
Prof. Dr. Suwijiyo Pramono, DEA., Apt, ahli Obat Herbal dan konsultan BPOM RI dari Fakultas Farmasi UGM, mengatakan meski mengklaim dapat mencegah infeksi Covid-19, mereka yang memakai kalung eucalyptus pada akhirnya tetap saja diminta untuk tidak lengah dengan tetap menjaga jarak, pakai masker dan sering cuci tangan. Apresiasi perlu diberikan kepada Puslitbangtan yang pada akhirnya mengambil langkah untuk berkonsultasi ke Badan POM guna menanyakan langkah-langkah apa yang harus dilakukan guna melakukan uji klinik.
“Dan kelihatannya ini akan didanai oleh BRIN. Demikianlah seharusnya, tidak langsung membuat pernyataan bombastis yang bisa membuat para sejawat di kedokteran dan farmasi terheran-heran,” ujarnya, Kamis (13/8) saat menanggapi sejumlah kasus viral terkait obat herbal untuk Covid-19.
Demikian pula soal herbal Hadi Pranoto, menurut Suwijiyo, salah satu pernyataannya yang menarik adalah herbal tersebut bisa memacu antibodi dan antibodi akan mencairkan lendir-lendir yang ada di dalam tubuh untuk kemudian dikeluarkan melalui air keringat, air seni dan air besar. Hal ini tentu mengundang tanya para ahli biologi molekuler, dokter spesialis paru, dokter-dokter lainnya.
“Ini tidak masuk akal sama sekali. Tapi lepas dari itu semua tidak ada salahnya kita mencoba bersikap netral lebih dahulu dengan mengesampingkan polemik yang ada. Kita harus telaah terlebih dahulu komposisi formula sediaan herbal yang diproduksi dan dipromosikan,” katanya.
Dalam herbal karya Hadi Paranoto disebutkan komponennya terdiri dari kunyit, ekstrak kulit manggis, gula aren dan air kelapa. Komponen-komponen ini jika ditelaah berdasarkan bahan yang tertulis dalam formula tersebut yang pertama adalah kunyit, secara empiris kunyit digunakan untuk meredakan berbagai radang, rematik, perut nyeri, penyakit hati, batu ginjal dan membersihkan haid. Rimpang yang dicampur dengan susu hangat digunakan untuk menyembuhkan pilek, bronkitis dan asma.
Suwijiyo menyatakan berbagai penelitian yang ada sejauh ini memang bertitik tangkap pada kandungan aktifnya yaitu zat warna kuning kurkumin yang memiliki efek imunostimulan im vivo pada mencit percobaan. Permasalahannya yang tertera pada formula herbal tersebut hanya disebut kunyit.
“Kita tidak tahu bagaimana cara mengolah kunyit tersebut, apakah diperas, direbus atau diekstraksi. Berapa kadar kurkumin yang ada di dalamnya karena secara ilmiah kurkumin tidak terlalu baik kelarutannya dalam air,” ungkapnya.
Kemudian soal komponen ekstrak kulit manggis, muncul pertayaan apakah Hadi Pranoto dalam memproduksi herbal mengekstraksi sendiri kulit manggisnya atau beli dari produsen ekstrak. Sebab, bila ditelaah dari segi ilmiah, kulit manggis mengandung mangostin yang memiliki efek antioksidan sehingga diharapkan dapat juga menjaga tubuh dari gangguan radikal bebas yang mungkin berasal dari virus.
“Kelihatannya pak Hadi Pranoto ini memang memiliki kecerdasan untuk mengombinasi bahan yang memiliki efek imunostimulan, antioksidan dan satu lagi yang secara empiris terlihat logis yaitu air kelapa. Kita pun menjadi bertanya-tanya apakah Hadi Pranoto membuat ramuan seperti itu berdasarkan pengetahuan yang dia peroleh setelah membaca buku atau searching di medsos? Atau memang telah ada secara empiris walaupun indikasi aslinya bukan untuk mengatasi Covid?,” terangnya.
Hanya saja, kata Suwijiyo, yang kemudian juga menimbulkan masalah produk herbal karya Hadi Pranoto telah mengklaim bahwa ramuannya mampu menyembuhkan 20 ribu orang yang terinfeksi Covid-19 dalam waktu lima hari. Menurutnya, jika ini benar mungkin perlu dipertanyakan dimanakah 20 ribu pasien tersebut saat ini?
“Sayangnya ia tidak mencatatnya sehingga tidak mungkin melacaknya. Padahal, jika benar dan terbukti setelah dilacak maka tertolaklah semua anggapan yang tidak benar selama ini. Tetapi jika tidak benar jelas hal tersebut merupakan kebohongan publik yang dapat membahayakan masyarakat,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : riaupos.jawapos.com
Sumber : Portal UGM