KAGAMA.CO, YOGYAKARTA – Menurut Kasubdit Manajemen dan Klinikal Farmasi Direktorat Pelayanan Kefarmasian, Dina Sintia Pamela, S.Si., Apt, M.Farm, pelayanan kefarmasian dan tata kelola obat dewasa ini, sudah banyak mendapat sentuhan teknologi.
Untuk itu industri farmasi sudah selayaknya adaptif merespon perubahan ini.
Hal ini dibahas dalam Seminar Nasional dan Talkshow Kefarmasian bertajuk Perkembangan Paradigma Apoteker dalam Menghadapi Disrupsi Percepatan Inovasi di Era Revolusi Industri 4.0, pada Minggu (20/10/2019) di Hotel Grand Mercure Yogyakarta.
Acara ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Farmasi UGM Prof. Dr. Agung Endro Nugroho, S.Si., M.Si., Apt.
Pembicara lain di antaranya Direktur Manufaktur PT Kalbe Farma Drs. Pre Agusta Siswantoro, MBA, Apt., Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Drs.Nurul Fallah Eddy Pariang, Kepala Instalasi Farmasi RSUP dr Sarjito, Asri Riswiyanti, SF, Apt, M.Sc, dan Dra.L.Endang Budiarti, M.Pharm, Apt.
Agusta mengatakan, Indonesia memiliki 206 industri farmasi.
Omset mencapai Rp84 Triliun, tetapi masih kalah dengan industri rokok.
“Jumlah penduduk Indonesia terbanyak nomor empat di dunia, tetapi yang mengonsumsi obat hanya 0,5 persen. Harusnya bisa naik 1-2 persen, karena peran apoteker besar, tidak ada yang menggantikan,” papar Agusta.
Dia kemudian menghimbau agar masyarakat jangan ragu bekerja di industri farmasi.
Agusta optimis apoteker akan tetap eksis. Industri kefarmasian, kata dia, tidak akan berkembang tanpa peran apoteker.
Demi mewujudkan itu, masyarakat perlu sadar akan isu-isu yang dihadapi industri farmasi.
Pertama, dari sisi ekonomi ada persentase GDP yang naik.
Kedua, dalam hal regulasi, peraturan penggunaan obat makin ketat.
Ketiga, terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang kini sedang berusaha meratakan akses kesehatan dan kefarmasian ke seluruh lapisan masyarakat.
“Terakhir adalah era digital yang membawa sentuhan teknologi pada setiap kegiatan kefarmasian, bahkan muncul ancaman profesi apoteker yang akan diganti oleh mesin,” jelasnya.
Dijelaskan Agusta, revolusi industri 4.0 memiliki dampak besar pada industri farmasi.
“Jika digambarkan melalui grafik, posisi farmasi itu ada di tengah-tengah, karena masih regulated. Sekarang orang bisa beli semua obat lewat e-commerce. Tetapi, industri farmasi kalau tidak diatur, bisa saja obat yang dijual palsu, sehingga harus ada regulasinya,” tandas Agusta.
Dia memaparkan, perubahan akan terjadi pada regulasi, terutama regulasi untuk produksi obat, realtime release produk, praktik apotek online, serta praktik Pedagang Besar Farmasi (PBF) online, khususnya pada legalisasi dan surat pemesanannya.
Perubahan berikutnya terjadi pada model bisnis farmasi. Agusta mencontohkan, kini untuk cek gula darah tak perlu ambil darah, tetapi bisa dideteksi melalui air mata.
“Sistem akan memberikan diagnosa penyakit, jika langsung ketahuan sakitnya, maka akan langsung keluar obat. Bila diduga terkena penyakit parah, sistem akan menyarankan kita untuk pergi ke dokter spesialis,” ujar alumnus Fakultas Farmasi UGM angkatan 1985 itu.
Sementara di Indonesia pengembangan model bisnis ini masih terhambat, karena dokter masih berorientasi pada pemeriksaan secara langsung dengan pasien.
Selanjutnya dari segi infrastruktur, Agusta mengatakan perubahan terjadi pada quality assurance dan quality control, yang prosesnya lebih cepat.
Lalu pada production and maintenance, ada 3D printing bisa mencetak apapun dari barang mentah hingga jadi, tanpa perlu beli sparepart mesin.
“3D printing mengubah total industri farmasi. Kini di rumah sakit, selain meberi pelayanan, bisa juga memproduksi obat sendiri. Dicetak paling butuh waktu seminggu, sehingga stabilitas produk cepat. Ada obat baru juga bisa cepat diproduksi. Satu mesin bisa bikin obat apa saja. Ini memudahkan tenaga kesehatan mendapatkan obat khusus yang biasanya membutuhkan studi cukup lama sebelum diproduksi,” jelas Agusta.
Masih terkait infrastruktur, perubahan juga terjadi pada segi logistik.
Mesin Radio Frequency Identification (RFID), yang berfungsi sebagai detektor di gudang obat.
Ini memudahkan tenaga farmasi untuk mengetahui dengan cepat stok obat yang dibutuhkan.
“Kemudian ada GPS yang bisa memonitor suhu di dalam kendaraan. Ada lagi drone khusus yang dimanfaatkan untuk mendistribusikan obat ke daerah-daerah terpencil,” ungkap Agusta.
Agusta mengatakan, berbagai implementasi teknologi itu sudah berkembang di luar negeri.
Indonesia boleh bermimpi dan pastinya akan perlahan-lahan menuju ke sana.
Revolusi industri 4.0, kata Agusta, mensimulasikan pekerjaan manusia, sehingga sebetulnya peran manusia tidak akan tergantikan bila manusia bekerja sebagai analytcal development.
“Jadi, skil yang dibutuhkan apoteker masa kini yaitu kemampuan mengembangkan formula, inovasi, kemampuan berpikir kreatif, dan kebijaksanaan. Ini yang tidak bisa dimiliki robot,” pungkas Agusta.
Seminar ini merupakan salah satu rangkaian Pharmacious 2019. Selain seminar, sebelumnya telah digelar Debat Nasional Kefarmasian dan Kompetisi Poster Publik yang bertempat di Fakultas Farmasi UGM.
Dalam penyelenggaraannya, tahun ini Pharmacious 2019 antara lain didukung oleh kagama.co dan Majalah Kagama. (Kinanthi)
kagama.coSumber :