KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Halal bi Halal KAGAMA Farmasi digelar secara daring pada Sabtu (20/6/2020).
Acara yang dihadiri 250 alumni Fakultas Farmasi UGM ini bertajuk Guyub Rukun KAGAMA Farmasi dari Desa sampai Dunia.
Hadir dalam kesempatan tersebut Ketua Umum Pengurus Pusat KAGAMA, Ganjar Pranowo; Ketua KAGAMA Farmasi, Masrizal Syarief; Dekan Fakultas Farmasi UGM, Agung Endro Nugroho.
Hadir pula Lurah Desa Panggungharjo, Bantul, yang merupakan alumnus Fakultas Farmasi UGM angkatan 1997, Wahyudi, Anggoro Hadi.
Beberapa alumnus diaspora pun hadir dan berbagi ceritanya masing-masing di negara rantau.
Mereka mengisahkan penanganan dan perkembangan wabah Covid-19.
Satu cerita tentang Swiss dituturkan oleh Yonika Arum Larasati.
Yonika adalah alumnus Fakultas Farmasi UGM angkatan 2009 yang kini menempuh studi S3 di University of Geneva.
Kata Yonika, kasus Covid-19 pertama di Swiss terjadi pada akhir Februari.
Dia menilai, Swiss tertular virus corona karena berbatasan langsung dengan Italia yang termasuk dalam parah di kawasan Eropa.
Karena itulah Pemerintah setempat langsung melakukan semi lockdown setelah hari pertama ditemukan kasus positif.
Orang-orang harus berada di rumah kecuali untuk keperluan penting seperti membeli kebutuhan pokok dan pergi ke layanan kesehatan.
“Awalnya orang Swiss agak susah untuk hanya stay at home. Butuh seminggu hingga orang-orang benar-benar aware,” tutur Yonika.
“Bahkan polisi harus membubarkan orang-orang yang tertangkap basah berkumpul,” terangnya.
Setelah semi lockdown dilakukan selama 1,5 bulan, kurva peningkatan kasus mulai turun pada April.
Kampus pun mulai aktif mulai 11 Mei. Tentunya dengan menerapkan social distancing dan protokol higienitas.
Mulai 20 Juni, Pemerintah negara dengan 8 juta penduduk itu sudah membuka lockdown, tetapi masyarakat wajib bermasker.
Perkumpulan dengan audiens 1000 orang juga diperbolehkan. Langkah itu diambil setelah penambahan kasus per hari stabil di angka 20-an.
“Pemerintah Swiss cukup tanggap dalam membuat kebijakan berdasarkan data yang ada,” ujar Yonika.
Selanjutnya, cerita datang dari Fikriansyah, sesama alumnus Fakultas Farmasi UGM angkatan 2009.
Dia adalah ASN di Direktorat Jenderal Penilaian Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan yang melanjutkan S2 di University of Melbourne, Australia.
Menurut Fikri, Pemerintah Australia sudah mewanti-wanti warganya sejak Januari. Yakni ketika dunia baru digemparkan dengan kabar wabah virus corona di Tiongkok.
Sejak saat itu, semua penerbangan dari Tiongkok tidak boleh datang ke Australia.
Termasuk mahasiswa dari Tiongkok juga tidak boleh masuk. Hal yang membuat Fikri salut dengan Pemerintah setempat adalah sikap transparan.
“Pemerintah (Australia) sangat transparan dan menceritakan roadmap penanganan wabah,” ujar Fikri.
“Mulai pertengahan Maret dilakukan semi lockdown agar orang-orang stay at home dan menerapkan physical distancing.”
“Peraturan diberlakukan secara bertahap.Mulai dari tidak boleh kumpul 50 orang, 10 orang, hingga dua orang.”
“Jika ketahuan mengadakan perkumpulan, dendanya bisa sampai Rp20 juta,” terangnya.
Sama seperti di Swiss, Australia juga masih membolehkan orang keluar rumah dalam keadaan terdesak. Seperti berbelanja kebutuhan pokok dan mencari layanan kesehatan.
Namun, kata Fikri, di sana juga diperbolehkan keluar untuk berolahraga dan untuk urusan pendidikan yang tidak bisa ditinggalkan.
Dia bertutur, sejak tiga hari sebelum Idul Fitri, Pemerintah Australia sudah membolehkan perkumpulan 10 orang di lingkungan outdoor.
“Sekarang orang sudah bisa keluar. Mungkin minggu depan stadion dan gym sudah buka,” ucap Fikri.
Cerita ketiga dikisahkan oleh Siska, alumnus Fakultas Farmasi UGM angkatan 2011.
Dia saat ini sedang menjalani pendidikan S3 di Toyama University, Jepang.
Kata Siska, Jepang sudah menerapkan kebijakan state of emergency (di Indonesia PSBB) sejak April.
Hal itu membuat masyarakat Jepang harus menghindari 3 C: close space (ruang sempit), crowded space (ruang ramai), dan close contact (kontak dekat).
“Imbauan untuk menhindari tiga hal tersebut disampaikan lewan iklan televisi, YouTube, dan mobil patroli polisi dengan TOA,” tutur Siska.
Bagi Siska, wabah Covid-19 menyadarkan dia tentang satu pelajaran hidup yang dia dapatkan di UGM.
Yakni belajar untuk menerima apa pun yang terjadi dan mengakui segala kelemahan yang dimiliki manusia.
“Kita berproses untuk menjadi pribadi yang lebih baik di kondisi yang sebenarnya tidak baik-baik saja,” pungkasnya. (Ts/-Th)
Sumber : kagama.co